Petugas mengisi Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Pertalite ke dalam mobil tanki BBM untuk didistribusikan ke sejumlah SPBU di wilayah Jawa Timur di Terminal BBM Pertamina Surabaya Group, Surabaya, Jatim, Selasa (10/11). PT Pertamina (Persero) menyebutkan realisasi penjualan BBM jenis Pertalite secara nasional sejak akhir Juli hingga Oktober 2015 telah mencapai 178,23 juta liter, dengan pencapaian outlet Pertalite mencapai 1.642 SPBU dari target 1.920 SPBU pada akhir tahun. ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf/aww/15.

Sibolga, Aktual.com – Gerindra ingin PT. Pertamina kembali menjadi perusahaan pelat merah yang kuat seperti dulu, di bawah Undang-Undang tersendiri dan bukan lagi di bawah UU BUMN.

Keinginan itu disampaikan Anggota DPR RI dari Fraksi Gerindra, Gus Irawan Pasaribu saat mengunjungi Terminal BBM Sibolga, Kota Sibolga, Sumatera Utara, Selasa (29/3).

Untuk itu, kata dia, F-Gerindra akan mendorong digulirkannya UU Migas. “Dari informasi yang diterima saat ini UU itu sudah masuk Prolegnas UU Migas. Ada pikiran kami di F-Gerindra ingin mengembalikan Pertamina seperti yang dulu,” ujar dia.

Menurut dia, pengelolaan sektor energi dan migas di Indonesia sekarang ini sangat liberal. Hal itu sangat disayangkan, karena bertentangan dengan konstitusi negara, UUD 45 Pasal 33.

Posisi Pertamina yang merupakan perusahaan negara, saat ini posisinya sama dengan perusahaan-perusahaan swasta. Misal, PT. Cevron Pasific Indonesia (CPI) dan PT Exxon Mobil Indonesia.

Mantan Dirut Bank Sumut itu mengatakan, dalam pengelolaan sektor energi di Indonesia, pemerintah melalui SKK Migas dinilai lemah dalam melakukan kontrol. Alasan cost recovery yang kerap diklaim oleh perusahaan swasta dinilainya telah merugikan negara.

“Siapa yang tau apa yang dilakukan di kilang minyak, tapi mereka klaim. Cost revcovery ini sangat besar, akibatnya bagian produksi negara menjadi kecil,” kata dia.

Contoh kasus, lanjut Gus, yakni riset dan ujicoba EOR yang saat ini tengah dilakukan oleh PT. Cevron Pasific Indonesia (CPI). Dimana, ujicoba yang belum membuahkan hasil itu berpotensi merugikan negara karenakan cost recovery.

“Ada 200 juta dollar dikeluarkan cevron, untuk riset dan ujicoba terkait EOR. Itu diklaim cost recovery, untuk dikembalikan. Saya keberatan, kegiatan riset masak dibebankan ke Indonesia,” pungkasnya.

Padahal, timpal Gus, jika hasil ujicoba itu berhasil, maka teknologi itu akan diterapkan di seluruh dunia, sementara Indonesia terbebani biaya cost recovery dan hanya akan mendapat production sharing.

“Kalau berhasil cevron berhasil akan digunakan di seluruh dunia, dan indonesia yang menanggung biaya riset nya. Dan, sekarang hasilnya normal, masih ujicoba dan belum digunakan,” kata dia.

Artikel ini ditulis oleh: