Tapi itu adalah pandangan yang terlalu dangkal. Memang, kebijakan iklim akan menimbulkan biaya dalam jangka pendek karena komitmen untuk mengurangi emisi membutuhkan adanya perubahan dalam pengelolaan perekonomian.

Dibutuhkan suatu model baru berdasarkan pada pertumbuhan hijau, yakni pertumbuhan yang menghasilkan kemajuan perekonomian, sekaligus mengurangi emisi gas rumah kaca.

Hal ini membutuhkan adanya perpaduan dari inovasi teknologi yang cepat, investasi infrastruktur yang berkelanjutan, dan peningkatan efisiensi dalam penggunaan sumber daya.

Bagaimanapun juga, kita perlu mengakui bahwa model pertumbuhan Indonesia bukanlah model yang berkelanjutan. Model pertumbuhan Indonesia bahkan sudah menjadi sangat mahal.

Pasalnya, model tersebut sangat tergantung pada penggunaan sumber daya alam dan pada sektor energi berkarbon tinggi. Degradasi hutan dan lahan gambut serta tingkat penggunaan bahan bakar fosil yang tinggi dalam bauran energi menjadikan Indonesia sebagai penghasil karbon dioksida terbesar keempat di dunia.

Selain itu, inisiatif Pembangunan Rendah Karbon atau Low Carbon Development Indonesia (LCDI) melaporkan bahwa bila biaya dari berkurangnya sumber daya dan polusi udara dimasukkan ke dalam perhitungan, maka basis modal kekayaan alam Indonesia sudah berkurang sebesar 791 miliar dolar AS dalam kurun waktu antara tahun 2000-2018.

Penurunan nilai ini sebesar 78 persen dari jumlah PDB 2017. Mengandalkan model pertumbuhan ekonomi konvensional ternyata menjadi lebih berbiaya tinggi di masa depan.

Artikel ini ditulis oleh: