Jakarta, Aktual.co —Cerita ini bermula dari percakapan absurd di grup Whatsapp yang juga absurd, sebut saja grup itu dengan “Grup Absurd” . Anggotanya bernama : Absurd 1 , Absurd 2, Absurd 3, Absurd 4 , dst.

Percakapan itu dipicu oleh Absurd 1 yang mengirim gambar suaminya sedang menggoreng makanan ke dalam grup, Kelihatannya enak, akan benar – benar menjadi enak jika makanan tersebut bisa dicicipi. Tapi keabsurdan ini bukan tentang proses pencicipan makanan, tapi komentar – komentar yang menjadi akibat dari terkirimnya gambar tersebut.

Absurd 2 memberi pendapat, “Sesibuk apapun aku, tak pernah kubiarkan suamiku menggoreng – goreng”. Absurd 3 menambahi, “Saiki dunia kewolak walik yooo, wkwkwkwk” , dan seterusnya. Dan Absurd terakhir yaitu si penulis sendiri mencoba untuk tampil bijak, meskipun dia belum yakin kalau penampilannya sudah bijak apa belum.

Absurd terakhir itu memulai ceramahnya dengan kalimat “Ada salah satu penyebab mengapa perempuan begitu dimuliakan oleh islam”. Lanjutan “ceramahnya” akan Absurd terakhir lanjutkan pada tulisan ini. 

Tadinya,  Absurd terakhir begitu terpukau oleh pemikiran feminis liberalis yang menurutnya sangat mewakili kepentingan perempuan, meskipun belum pernah mengkaji secara mendalam. Absurd terakhir hanya melihat kulit luar konsep perjuangan feminis untuk kebebasan perempuan sampai menutup mata bahwa terkadang konsep – konsep feminis tersebut bertabrakan dengan syariat islam (Absurd terakhir beragama islam). Seperti membenci dan memandang tidak adil tentang syariat poligami, ataupun tentang jilbab. Alasannya, konsep – konsep yang baik dalam feminis lebih banyak daripada yang menyerang syariat. Jadi, ambil saja yang baik – baiknya.

Sampai suatu hari dia dibuat penasaran oleh pernyataan salah satu seniornya di kantor tentang islamisme dan neoliberalisme. Begitu seniornya terlihat agak santai dan tidak serius melihat layar monitor, Absurd satu langsung duduk manis didepannya dan bertanya.

“Pak Alan (bukan nama yang sebenarnya), kenapa bapak berkata hanya Pan Islamisme yang mampu melawan Neoliberalisme?”, lalu Pak Alan menjawab ini dan itu mengenai hal tersebut (akan Absurd terakhir ceritakan pada tulisan lain).

Setelah Absurd terakhir mendapatkan jawaban dan hendak beranjak kembali ke meja di ruangan lain, Pak Alan mencegah. “Sebentar dulu, belum selesai” katanya. Lalu Pak Alan melanjutkan “Sebenarnya menurut kamu, siapa sih yang bertanggung jawab atas makanan keluarga, pendidikan anak-anak, dan seluruh urusan rumah tangga lainnya?”.  Absurd terakhir menjawab dengan ragu – ragu, “Ya… suami dan istri, sama – sama gitu pak” .

Lalu Pak Alan menghisap cerutunya dilanjutkan mengambil potongan melon untuk dimakan sambil berkata, “Kamu salah. Semuanya tanggung jawab suami sebagai pemimpin keluarga”.

Alkisah, ada seorang laki – laki ingin bertamu ke rumah Umar bin Khattab RA yang pada saat itu menjadi seorang Amirul Mukminin. Laki – laki ini ingin mengadukan perangai istrinya yang kerap marah – marah kepadanya, sehingga dia memutuskan datang menemui Umar bin Khattab RA untuk meminta nasihat.

Sungguh tak disangka, belum sampai laki – laki tersebut ke pintu rumah Umar bin Khattab RA, dia dikejutkan dengan suara yang tidak sengaja didengarnya, suara seorang perempuan yang sedang memarahi Umar bin Khattab RA, perempuan itu adalah istri sang Amirul Mukminin sendiri. Sebagaimana mirip dengan gaya marah istri laki – laki tersebut, yang membesar-besarkan hal remeh dengan nada yang makin lama makin tinggi.

Dan yang membuat si laki – laki ini makin heran, Amirul Mukmininnya tersebut diam saja. Pada saat itu, si laki – laki ini menjadi bimbang, jadi curhat atau tidak. Laki – laki itu kemudian berkata dalam hati, “Jika seorang Amirul Mukminin saja seperti itu, bagaimana denganku?” dan bersiap – siap untuk pergi.

Tapi Umar bin Khattab lebih dulu keluar rumah dan melihat tamunya yang hendak pergi tersebut. Umar bin Khattab memanggil laki – laki tersebut dan bertanya keperluannya. Begitu mendengar dia dipanggil, laki – laki tersebut berbalik dan mengutarakan keperluannya, “Wahai, Amirul Mukminin, aku datang untuk mengadukan perangai buruk istriku dan sikapnya kepadaku. Tapi, aku mendengar hal yang sama pada istrimu,” kata laki – laki itu.

Umar bin Khattab RA kemudian tersenyum. Dia pun mengisahkan kepada laki – laki itu mengapa Umar yang keras begitu sabar menghadapi istrinya. “Wahai, saudaraku, aku tetap sabar menghadapi perbuatannya karena itu memang kewajibanku.”

Alih-alih menghardik istrinya, Umar malah menceritakan betapa besar jasa istrinya dalam kehidupannya di dunia. “Bagaimana aku bisa marah kepada istriku karena dialah yang mencuci bajuku, dialah yang memasak roti dan makananku, ia juga yang mengasuh anak-anakku, padahal semua itu bukanlah kewajibannya,” jawabnya.

Pak Alan mengakhiri cerita dengan potongan melon terakhirnya dihadapan Absurd terakhir yang terbengong – bengong tapi masih punya space untuk berfikir. Jadi, betapa para feminis itu tidak memahami sempurnanya tatanan islam. Tatanan yang memuliakan perempuan. Perempuan tidak pernah memiliki kewajiban untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga, bersebab cinta dan kasih sayangnyalah sehingga mereka mau menangani pekerjaan rumah tangga selagi suami – suami mereka berada di luar.

Inilah yang membuat Sayyidina Umar hanya pasif menghadapi kemarahan istrinya. Dan tentu saja, yang membuat Rasulullah menyebutkan nama ibu sampai tiga kali sebelum ayah. Ya, ini yang menyebabkan perempuan begitu mulia dalam tatanan agama islam.

Lantas bagaimana dengan seorang istri yang juga tidak bisa menangani kewajiban suaminya lalu mendelegasikan kepada orang lain , misalkan pembantu rumah tangga? Dan dia juga berada diluar rumah untuk bekerja mencari nafkah. Tentu saja hal tersebut tidak mengurangi kemuliaan dirinya sebagai perempuan dalam islam.

Tidakkah kita ingat Ummahatul Mukminin Zainab binti Jahsy ? dimana dengan tangannyalah dia bekerja sehingga bisa memberikan sedekah kepada yang membutuhkan. “Adalah Zainab binti Jahsy orang yang paling takwa kepada Allah, paling suka menyambung tali silaturrahim, paling banyak bersedekah, dan paling suka mengorbankan dirinya untuk melakukan pekerjaan dan pekerjaan itu dia dapat bersedekah dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.” (HR Muslim) .

Maka, bersyukurlah menjadi seorang perempuan muslim dan mari terus bersemangat untuk memperbaiki akhlak, amal dan kehidupan dunia akhirat. Wallahualam bi showab.

Oleh: Tsurayya Zahra
Aktivis Perempuan

Artikel ini ditulis oleh: