Pakar energi UGM, Prof Tri Widodo. (ilustrasi/aktual.com)
Pakar energi UGM, Prof Tri Widodo. (ilustrasi/aktual.com)

Jakarta, aktual.com – Pakar energi UGM Prof Tri Widodo mengharapkan Presiden Joko Widodo sebaiknya tidak terburu-buru membentuk perusahaan induk (holding) dengan skema akuisisi PT PGN Tbk oleh PT Pertamina (Persero).

“Mesti dikaji secara mendalam melalui diskursus mendalam dengan melibatkan ‘stakeholder’ yang lebih luas, karena energi sesuai Pasal 33 UUD adalah cabang produksi penting yang dimiliki negara dan digunakan untuk kemakmuran rakyat,” katanya saat dihubungi dari Jakarta, Jumat (1/7).

Menurut dia, pembentukan “holding” yang direncanakan pemerintah hanya berupa akuisisi Pertamina atas PGN tidak dapat mendukung ketahanan energi, sekaligus menyelesaikan carut marut permasalahan dan tantangan energi nasional.

Mestinya, lanjut Tri, rencana “holding” tersebut tidak hanya mencakup migas (Pertamina-PGN) saja, namun subsektor energi lainnya yakni batubara, listrik dan energi baru terbarukan (EBT).

Dengan demikian, “holding” energi seharusnya mencakup Pertamina di hulu migas, PGN di hilir gas, PT PLN untuk listrik, PT Bukit Asam di batubara, dan satu BUMN baru untuk EBT.

Ia mengatakan, sampai saat ini pemerintah belum mempunyai peta rencana (roadmap) “holding” energi.

“Wacana yang berkembang sekarang ini baru ‘holding’ migas karena hanya melibatkan Pertamina-PGN dan bukan ‘holding’ energi,” katanya.

Selain itu, model tata kelola perlu dikaji secara komprehensif sebelum rencana pembentukan “holding” energi benar-benar dilaksanakan pemerintah.

Tri juga menilai, penggabungan Pertamina-PGN tidak bisa menjawab tantangan energi ke depan.

Tantangan-tantangan tersebut antara lain penurunan produksi minyak sekaligus kenaikan produksi gas.

“Atas tantangan tersebut, seharusnya Pertamina fokus di hulu migas dan PGN di hilir gas,” katanya.

Tantangan lain adalah diversifikasi energi termasuk bauran energi, kebutuhan energi ke depan yang makin besar, pembangunan infrastruktur, khususnya gas, dan jaminan ketahanan energi nasional.

“Penggabungan Pertamina-PGN ini kami lihat hanya sinergi bisnis belaka, sehingga tidak bisa menjawab tantangan-tantangan tersebut,” ujarnya.

Tri juga mengatakan, perubahan status PGN dari BUMN menjadi perusahaan swasta dikarenakan menjadi anak perusahaan Pertamina, tidak sesuai dengan amanat Pasal 33 UUD.

“Gas merupakan sumber daya yang menguasai hajat hidup orang banyak dan strategis bagi negara sehingga harus dikuasai negara melalui BUMN,” ujarnya.

Oleh karena itu, menurut dia, sembari menunggu “roadmap holding” energi yang lebih luas, sebaiknya posisi Pertamina dan PGN dipertahankan tetap seperti sekarang dengan penguatan masing-masing.

“Di sini peran pemerintah menjadi penting yakni mendudukkan peran masing-masing secara optimal dengan membesarkan Pertamina di hulu migas, sementara PGN di hilir gas,” katanya.

Ia mengatakan, model penguatan tersebut bisa dilakukan pemerintah dengan melakukan pembagian wilayah kerja, mengatur area pemasaran, membangun infrastruktur, dan memperbaiki tata niaga gas nasional.

Artikel ini ditulis oleh:

Antara
Arbie Marwan