Jakarta, Aktual.com – Dai milenial Habib Husein Ja’far Al Hadar mengatakan bahwa organisasi masyarakat seharusnya menjadi pengayom persatuan di masyarakat dan negara.

Habib Husein, dalam keterangannya yang diterima di Jakarta, Rabu, mengatakan dalam konteks kebangsaan, pemersatu bangsa adalah “Persatuan Indonesia” yang sudah termuat dalam sila ketiga Pancasila.

Adapun dalam konteks ke-islaman, “ukhuwah” atau persatuan adalah di antara doktrin utama, baik persatuan sesama Muslim, sesama warga negara, atau sesama manusia.

”Maka, organisasi masyarakat (ormas) atas nama kebangsaan atau keislaman memang sudah sepatutnya bisa menjadi pengayom persatuan, baik bagi masyarakat dan bangsa ini,” ujarnya.

Habib Husein menyampaikan, seperti yang diketahui secara umum ada dua ormas terbesar Islam yang ada di Indonesia, yakni Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Kedua ormas tersebut sudah sejalan dengan persatuan kebangsaan sejak dulu hingga kini.

”Selain itu memang ada tantangan pada beberapa ormas lain. Namun paling tidak optimisme tetap ada karena NU dan Muhammadiyah ini sudah sejalan,” tuturnya.

Pria kelahiran Bondowoso 21 Juni 1988 itu mengharapkan kepada NU dan Muhammadiyah sebagai dua ormas Islam terbesar di Indonesia ini untuk selalu tampil terdepan dalam mengayomi ormas lain untuk berada di khitahnya dalam misi memajukan bangsa Indonesia ini.

”Ulama itu pemimpin umat, sedangkan umara pemimpin rakyat. Umat itu rakyat, rakyat itu umat. Maka, keduanya harus membangun. Bukan hanya sekedar komunikasi saja, tetapi juga bersinergi agar umat dan rakyat tak bingung,” jelasnya.

Ia juga mengingatkan, jangan sampai antara ulama dan umara ini justru terpolarisasi, karena persatuan itu adalah salah satu kunci dan prestasi. Kunci keutuhan bangsa dan prestasi suatu bangsa.

”Lihat yang terjadi terhadap negara-negara di Timur Tengah sana yang gagal dalam memadukan nasionalisme dan Islamisme, sehingga mereka terus terjebak dalam perpecahan dan kehancuran,” ujarnya.

Oleh sebab itu, menurut dia, narasi kebhinekaan adalah modal utama. Perbedaan mustahil bisa disingkirkan, sehingga tak ada pilihan lain kecuali harus bersatu di tengah perbedaan yang ada tersebut.

”Bukan hanya mau bersatu kalau terhadap yang sama saja. Itu namanya persamaan bukan persatuan. Maka dari itu penting untuk mengemukakan narasi-narasi kesatuan, yakni di tengah perbedaan, fokus apa yang menjadi kesatuan di antara kita,” ujarnya.

Antara

Artikel ini ditulis oleh:

As'ad Syamsul Abidin