Sejarah Bangunan Menurut “Buku Panduan Museum Sumpah Pemuda” (2018), seiring dengan pendirian sekolah-sekolah di kota-kota besar di Jawa pada permulaan abad XX, muncul kebutuhan akan pemondokan bagi pelajar dan mahasiswa pendatang.
Karena asrama di sekolah-sekolah tidak bisa menampung seluruh pelajar dan mahasiswa yang datang untuk belajar, mulai muncul rumah-rumah keluarga yang diubah menjadi rumah pemondokan.
Pemondokan pelajar yang terletak di Jalan Kramat 106 itu terdiri dari dua bangunan. Bangunan utama digunakan sebagai kamar, berdiskusi, membaca, kegiatan kesenian dan bermain biliar; sedangkan bangunan lain berupa kamar-kamar.
Gedung Kramat 106 mula-mula menjadi tempat pemondokan bagi anggota “Jong Java” yang sebelumnya menyewa bangunan di Jalan Kwitang 3 yang dirasa sudah terlalu sempit.
Oleh Jong Java, bangunan milik Sie Kong Liong itu kemudian dinamai “Langen Siswo”. Selain untuk pemondokan, banguna itu juga untuk latihan kesenian dan diskusi politik.
Sejak 1926, penghuni gedung Kramat 106 bukan hanya dari “Jong Java” tetapi mulai beragam seperti Amir Sjarifuddin, Muhammad Yamin, Assaat, dan lain-lain.
Karena keberagaman penghuni, para pelajar dan mahasiswa mulai mendiskusikan konsep persatuan nasional. Kegiatan di pemondokan itu juga mulai beragam, bukan hanya kesenian dari satu suku saja melainkan juga kepanduan dan olahraga.
September 1926, para mahasiswa yang tinggal di gedung Kramat 106 mendirikan Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI). Gedung Kramat 106 menjadi pusat kegiatan mereka.
Menurut R Katjasungkana, seorang pelajar yang pernah tinggal di Kramat 106, dalam “Jejak Langkah Pergerakan R Katjasungkana” (2015) terbitan Museum Sumpah Pemuda, sebelum 1926 pemondokan itu dikelola oleh seorang nyonya Belanda yang mengurusi makanan para penghuninya.
Baru pada 1926, nyonya Belanda itu tidak lagi mengelola pemondokan itu, sehingga para pelajar dan mahasiswa kemudian menunjuk seseorang untuk mengurusi makanan.
Artikel ini ditulis oleh:
Nebby