Jakarta, Aktual.com – “Berapa banyak guru yang masih kita miliki? Kita akan bangkit kembali dan menjadi bangsa terhormat di muka bumi”.

Dua kalimat di atas merupakan pernyataan legendaris dari Kaisar Jepang, Hirohito saat dua kota Jepang, Hiroshima dan Nagasaki dihujam bom atom Amerika Serikat pada Agustus 1945. Reaksi dari Hirohito itu terkesan mengacuhkan jumlah kerugian yang telah dialami Jepang setelah kalah dalam Perang Dunia (PD) II, namun justru berpikir maju ke depan dengan merencanakan kebangkitan Jepang di kemudian hari.

Tentunya, Hirohito sadar betul akan peran pendidikan dalam kemajuan sebuah bangsa. Majunya Jepang sebagai salah satu ‘pemain’ dalam PD II merupakan buah dari hasil modernisasi dan pengembangan pendidikan yang dimulai negara Sakura ini sejak Restorasi Meiji, 1868.

Ketika Restorasi Meiji dimulai, belum ada satu pun dari elemen bangsa Jepang, termasuk para bangsawan dan Kaisar, yang menguasai pendidikat maju ala barat. Namun yang pasti, bangsa Jepang saat itu memiliki kemauan dan komitmen yang kuat untuk mengejar ketertinggalannya dari negara-negara maju yang notabene merupakan negara penjajah dan mereka menyadari bahwa hal harus dimulai dengan pendidikan. Motif dari semua ini sangat sederhana, yakni ketidakrelaan Jepang menjadi negara yang terjajah.

Hal yang sama pun kembali dilakukan oleh Hirohito ketika menanyakan jumlah guru kepada salah seorang stafnya. Guru sendiri memang memiliki peran penting dalam sebuah pengembangan pendidikan. Visi dari Hirohito pun menjadi kenyataan dan terbukti benar adanya lantaran Jepang mampu menjadi negara maju hanya dua dekade setelah kekalahan mereka dalam PD II.

Di tanah air nusantara ini, modernisasi pendidikan pertama kali dicetuskan oleh Belanda melalui politik etis. Meskipun ini diberlakukan untuk kalangan terbatas, tak ayal program edukasi politik etis telah melahirkan kaum cendekiawan yang yang nantinya akan berpikir dan berjuang untuk merebut kemerdekaan Indonesia.

Selepas merdeka, visi memajukan negara lewat pendidikan juga menjadi hal yang utama bagi Indonesia. Hal ini tercermin dalam alinea ke-4 Pembukaan Undang-undang Dasar (UUD) 1945, yang menyebutkan salah tujuan negara adalah,”mencerdaskan kehidupan bangsa”.

Pendidikan Indonesia pada masa Orde Lama pun meningkat cukup pesat. Melalui visi sosialisme, pendidikan menjadi menjadi sarana bagi pemerintah untuk mengurangi diskriminasi di dalam masyarakat. Meskipun tingkat buta huruf masih tinggi, tapi hampir tidak ada rintangan ekonomi bagi putra-putri bangsa untuk mengenyam pendidikan tinggi pada masa itu.

Pada era itu adalah era di mana semua orang merasa sejajar, tanpa dibedakan warna kulit, keturunan, agama, dan sebagainya. Begitu juga dalam dunia pendidikan. Orde Lama berusaha membangun masyarakat sipil yang kuat, yang berdiri di atas demokrasi, kesamaan hak dan kewajiban antara sesama warga negara termasuk dalam bidang pendidikan.

Perguruan tinggi dibangun di tiap-tiap provinsi, sekolah-sekolah pun didirikan di setiap daerah. Setiap insan pendidikan dibekali kedisiplinan tinggi dengan tetap menekankan pada kualitas dan kejujuran.

Indonesia bahkan mampu mengekspor guru ke Negara tetangga, menyekolahkan ribuan mahasiswa ke luar negeri, dan menyebarkan mahasiswa-mahasiswa ke seluruh penjuru negeri untuk mengatasi buta huruf. BJ Habibie adalah salah di antara mahasiswa yang dikirim pemerintah keluar negeri pada masa Orde Lama.

Kebijakan ekspor guru ke Malaysia yang sempat terhenti akibat perang dan kisruh 65 pun sempat dilanjutkan pada awal Orde Baru.

Namun, visi membangun bangsa melalui pendidikan seolah bagai menjadi pungguk yang merindukan bulan. Pendidikan Indonesia dalam beberapa dekade terakhir seperti jalan di tempat, berkali-kali diubahnya kurikulum pun nyatanya tak membantu mendongkrak pendidikan di tanah air.

Puncaknya adalah rencana pemerintah untuk impor dosen dari luar negeri. Menteri Riset dan Teknologi Pendidikan Tinggi (Menristekdikti), Mohammad Nasir mengatakan, Indonesia memerlukan 200 tenaga dosen asing agar masuk reputasi dunia di bidang pendidikan.

Rencana ini juga telah terbantukan dengan terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing pada 26 Maret lalu.

“Salah satu indikator pengukurannya (reputasi dunia) adalah staff mobilityStaff mobility ini adalah dosen asing masuk ke Indonesia, demikian pula sebaliknya Indonesia di luar negeri,” demikian alasan yang dikatakan Nasir di Jakarta, 10 April lalu.

Dosen asing yang akan datang akan difokuskan pada bidang sains dan teknologi. Terkait kedua disiplin ilmu itu, perguruan tinggi di Indonesia masih banyak mencontoh riset dari luar negeri, seperti Finlandia dan Jerman, sehingga pemerintah menilai akan lebih baik jika mendatangkan dosen asing ke Indonesia.

Belakangan, Nasir memberikan klarifikasi terhadap polemik ini. Frase ‘impor dosen’ yang ramai diberitakan, diralatnya menjadi pertukaran dosen antara Indonesia dengan negara luar.

“Tidak ada impor dosen, jangan berpikir ini seperti impor barang,” tegasnya di Jakarta, pada 20 April 2018.

Namun ia tetap keukeuh bahwa hal ini dilakukan untuk meningkatkan kualitas dan peringkat perguruan tinggi Indonesia di level internasional. Ia merujuk pada kriteria Quacquarelli Symonds (QS) World University Rankings yang menyebutkan mobilitas dosen dalam sebuah negara.

“Dosen kita keluar negeri, dosen luar negeri ke Indonesia, itu ada enggak? Kalau enggak ada, bagaimana bisa dinilai dengan baik,” tambah Nasir.

Ia menambahkan, dosen asing itu nantinya akan berkolaborasi dengan dosen lokal. Setiap dosen asing akan berada di Indonesia untuk 1-2 tahun untuk membimbing mahasiswa Indonesia.

Kemenristekdikti sendiri sejak tahun lalu telah memiliki program bernama World Class Profesor (WCP), yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Sumber Daya Iptek dan Dikti Kemenristekdikti. Program ini memfokuskan untuk mendatangkan profesor kelas dunia ke Indonesia.

WCP diklaim bertujuan untuk memajukan iklim dan ekosistem riset di perguruang tinggi dalam negeri. Direktur Jenderal Sumber Daya Iptek dan Dikti, Ali Ghufron Mukti menjelaskan jika niat pemerintah untuk mendatangkan dosen asing bukanlah untuk menjadi dosen tetap, melainkan menjadi kolaborator dan pembimbing bagi dosen lokal.

“Kalau dosen TKA yang dipersepsikan salah, kita belum punya program tersebut. Sedangkan WCP adalah skema khusus yang kami sediakan bagi dosen kelas dunia, baik asing atau pun dalam negeri dengan tujuan meningkatkan kualitas penelitian melalui jalur kolaborasi” terang Ghufron pada 23 April lalu.

Bersambung ke halaman berikutnya

Artikel ini ditulis oleh:

Teuku Wildan