Logo Hari Pendidikan Nasional 2018

Benang Kusut Pendidikan

Di luar polemik dosen impor, baik Itje maupun Doni sama-sama mengakui jika permasalahan dalam dunia pendidikan Indonesia bak benang kusut yang sukar dibenahi. Terlebih jika pemerintah atau pemimpin negara ini tak memiliki tekad dan kemauan yang kuat untuk memajukan bangsa ini melalui pendidikan.

Hal ini sebagaimana dikatakan oleh cendekiawan muslim Malaysia asal Universiti Teknomogi Malaysia, Prof Wan Mohd Nor Wan Daud, kunci dari kebangkitan pendidikan Malaysia terletak pada tangan pemimpin.

“Maka pemimpin yang berkuasa harus peduli pendidikan,” kata dia.

Menurut Wan, seorang pemimpin yang peduli akan pendidikan, maka dia akan berupaya maksimal untuk meningkatkan pendidikan, termasuk dengan mengalokasikan anggaran yang cukup besar untuk pengembangan dunia pendidikan.

Jika kembali dalam konteks problematika Indonesia, anggaran pendidikan sudah cukup besar dan seharusnya lebih dari cukup untuk meningkatkan level pendidikan kita. Pada APBN 2018 misalnya, pemerintah telah mengalokasikan Rp 444,131 triliun untuk pendidikan.

Anggaran tersebut terdiri atas tiga aspek, yaitu anggaran pendidikan melalui belanja pemerintah pusat sebesar Rp149,680 triliun; anggaran pendidikan melalui transfer ke daerah dan dana desa sebesar Rp279,450 triliun; anggaran pendidikan melalui pembiayaan sebesar Rp15 triliun.

Berdasar catatan Aktual, anggaran pendidikan sendiri terus menanjak sejak 2010 (Rp 225,2 triliun) silam.

Lantas, dengan anggaran sebesar itu, kenapa pendidikan Indonesia masih seperti jalan di tempat? Setidaknya terdapat dua hal yang menjadi akar masalah dari problematika pendidikan kita, yaitu politisasi pendidikan dan kualitas tenaga pengajar.

1. Politisasi pendidikan

Politisasi pendidikan ditenggarai salah satu akar masalah dari rumitnya problematika pendidikan di tanah air. Hal ini memiliki beragam bentuk di Indonesia, salah satunya adalah korupsi anggaran. Doni mengatakan, korupsi anggaran begitu massive di setiap daerah, khususnya untuk alokasi khusus.

Menurutnya, tidak semua anggaran pendidikan yang ditransfer ke daerah dapat ‘dimainkan’ oleh para pejabat daerah tersebut. Sertifikasi guru adalah salah satu contoh dari  anggaran yang tidak bisa dijamah oleh tikus-tikus daerah.

“(Anggaran sertifikasi guru) Enggak bisa dimainin, yang bisa dimainin hanya alokasi khusus. Biayanya kan besar sampai triliunan, karena itu untuk membangun sekolah yang rusak,” ungkap Doni.

Selain korupsi anggaran, bentuk lain dari politisasi pendidikan adalah pemilihan pejabat di dinas atau lembaga pendidikan (SD, SMP dan SMA) yang berdasar pada like or dislike belaka. Hal ini terjadi lantaran tedapat kepala daerah yang ingin memuluskan permainan anggaran di daerahnya, atau juga terdapat seorang kepala sekolah yang cukup vokal menentang kebijakan pendidikan di daerah tersebut.

Ironisnya, jelas Doni, praktik politisasi pendidikan justru marak setelah adanya otonomi daerah. Dengan demikian, ketimpangan pendidikan pun tak terelakkan akibat banyaknya kepala daerah yang justru memandang rendah pendidikan itu sendiri.

“Iya, politisasi yang berakar dari tidak adanya komitmen dari pemerintah daerah terhadap pendidikan,” jawab Doni ketika dimintai penegasan tentang ini.

Di tempat yang terpisah, anggota Komisi X DPR RI, Venna Melinda sepakat jika bersama Kementerian terkait, Dinas Pendidikan di daerah merupakan pihhak-pihak yang sangat menentukan arah pendidikan di sekolah.

Ditambah dengan guru, kinerja para pejabat dinas pendidikan di daerah akan memegang kunci mau atau tidaknya tingkat pendidikan di daerah yang berujung pada tingkat pendidikan nasional.

“Pihak-pihak yang saya sebutkan di atas ini adalah aktor utama yang memegang pergerakan pendidikan kita,” jelasnya.

2. Kualitas Tenaga Pendidik

Tenaga pendidik menjadi akar masalah lain dalam dunia pendidikan Indonesia.

“Kalau mau mendidik manusia, yang menjadi faktor penting itu kan manusianya, jadi yang paling penting itu gurunya,” tegas Itje.

Itje pun mempertanyakan sistematika pemerintah dalam mengembangkan kualitas guru-guru di tanah air. Padahal, hal ini merupakan hal yang sangat penting untuk perkembangan dunia pendidikan.

“Kita banyak berfokus pada perubahan dokumen, perubahan kebijakan, tetapi apakah itu berdampak pada kualitas guru? Itu pertanyaan penting yang harus dijawab pada tahun ini,” jelasnya.

Menurut Itje, serifikasi guru yang seharusnya dijadikan medium untuk standarisasi mutu guru di seluruh Indonesia tidak berjalan maksimal lantaran justru hanya menekankan pada aspek pemenuhan kesejahteraan saja.

Padahal, lanjutnya, setiap guru harus memiliki bekal atau amunisi yang berlebih dalam setiap pendidikan yang ia lakukan kepada anak didiknya. Terlebih dalam era digitalisasi yang melahirkan generasi milenial sekarang ini.

Generasi milenial, jelas Itje, harus diarahkan untuk berpikir, bukan lagi diberi penjelasan saja lantaran banyaknya sumber informasi yang dapat dicari pada saat ini.

“Jadi bagaimana mereka memanfaatkan informasi yang berserakan ini untuk kehidupan mereka kelak,” tutur Anggota Badan Akreditasi Nasional Sekolah ini.

Lebih lanjut, Itje menegaskan jika persoalan kualitas guru adalah masalah utama yang harus ditangani oleh pemerintah. Jika persoalan ini sudah tuntas, ia yakin masalah-masalah lain akan tuntas dengan sendirinya.

“Karena kalau guru itu berkualitas, dia ke kelas bawa batu atau ayam, itu juga jadi pelajaran kan?” kata Itje.

“Tapi kalau kualitas gurunya itu enggak mutu, mengajar pakai buku impor pun enggak bakal nyambung penyampaiannya ke murid. Kreativitas untuk mengembangkan berpikir siswanya (yang penting)” sambungnya seraya menutup.

Sementara itu, Venna Melinda cukup mengapresiasi program sertifikasi yang dijalankan oleh pemerintah. Menurutnya, sertifikasi guru yang oleh pemerintah dimaksudkan untuk pemerataan guru, telah mengatur cukup spesifik tentang mekanisme pengajaran dan pendidikan.

“Jam mengajar wajib 24 jam, mau tidak mau membuat guru yang tidak cukup jam mengajar di tempat tugas pokoknya harus mencari jam tambahan ke sekolah lain,” katanya.

Namun, Venna menekankan jika hal ini mungkin tak tampak pengaruhnya di dalam area perkotaan, tetapi cukup signifikan untuk sekolah-sekolah di daerah terpencil yang memang kekurangan guru.

“Sekolah terpencil akan terbantu untuk memenuhi jumlah jam mengajar secara administratif-kuantitatif,” tegas Venna.

Namun, ia sangat sepakat jika setiap tenaga pengajar harus mempunyai inisiatif untuk meningkatkan dan mengembangkan kualitas keilmuan dan metode penyampaian kepada anak didik, baik siswa maupun mahasiswa. Menurutnya kualitas dari kinerja tenaga sangatlah menentukan arah pendidikan Indonesia.

“Saya juga mengharapkan para guru atau pendidik untuk serius mau meningkatkan kebutuhan peserta didik dan mampu meningkatkan diri dengan pengetahuan terkini sebab tujuan utama pendidik adalah menciptakan kompetensi peserta didik secara menyeluruh,” terang mantan model ini.

Tak hanya itu, hal yang sama pun ia sampaikan kepada dosen di seluruh Indonesia. Menurutnya, seorang dosen harus lebih inovatif dalam menerapkan metode perkuliahan.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Teuku Wildan