Benahi Dosen Lokal
Pakar pendidikan Itje Chodidjah berpendapat, masuknya dosen asing ke Indonesia memang sulit dihindari. Faktor globalisasi membuat setiap pekerja profesional, termasuk dosen atau tenaga pengajar, dapat melakukan pekerjaannya di negeri orang.
Pun demikian sebaliknya, dosen asal Indonesia menurutnya juga dapat menjadi tenaga pengajar di negara lain sepanjang ia memiliki kemampuan yang mumpuni. Dengan demikian, Itje pun tidak mempermasalahkan jika pemerintah berniat untuk mendatangkan dosen asing ke tanah air sepanjang memang digunakan untuk meningkatkan level pendidikan Indonesia.
“Jadi masyarakat juga harus diberi pengertian bahwa kualitas dosen itu bukan perkara dari negara A atau B, tapi dari kualitas penelitiannya, dari kualitas keilmuannya, itu yang lebih penting,” kata Itje saat dihubungi Aktual, Senin (30/4).
Hanya saja, lanjutnya, pemerintah sejatinya perlu melakukan pembenahan terhadap dosen-dosen lokal sejak lama. Ia menyebut beberapa aspek yang harus dibenahi oleh pemerintah terkait dosen di dalam negeri, yaitu kualitas pengajaran, ilmu dan riset.
Secara tersirat, Itje pun menyayangkan jika pembenahan dosen lokal terpaksa harus dilakukan dengan mendatangkan para ahli dari luar negeri. Menurutnya, dalam era teknologi yang tumbuh pesat seperti sekarang, para dosen seharusnya memiliki berinisiatif untuk mengembangkan diri tanpa harus menunggu program dari pemerintah.
Mudahnya akses internet, jelasnya, seharusnya mempermudah dosen lokal untuk mengakses segala yang berhubungan dengan disiplin ilmunya. Seorang dosen yang mengajar disiplin ilmu mikroba misalnya, dapat mengakses tentang mikroba sama halnya seperti dosen dari Amerika sana.
“Yang tidak sama adalah kualitas risetnya, apakah riset kita berkualitas dan bisa diandalkan? Saya tidak perlu membandingkan riset kita dengan negara lain, tetapi apakah riset kita sudah kontekstual, bisa diandalkan dan bisa mempunyai harga jual dari perguruan tinggi,” papar Itje.
Ketika ditanya tentang kualitas dosen di tanah air, ia menjawab jika kualitas dari dosen di tanah air tercermin dari kualitas perguruan tinggi di Indonesia.
Berdasarkan situs resmi webometrics, tak satu pun perguruan tinggi asal Indonesia yang menempati 10 kampus terbaik di ASEAN. Dua kampus terbaik di tanah air, Universitas Indonesia (UI) dan Universitas Gadjah Mada (UGM), masing-masing hanya menempati posisi ke-14 dan 15 saja. Sementara Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Institut Pertanian Bogor (IPB) menempati posisi 21 dan 30.
Dalam survei yang dirilis pada Januari 2018 itu, kampus terbaik di ASEAN menjadi milik Universitas Nasional Singapura (National University of Singapore/NUS) yang disusul oleh Universitas Teknologi Nanyang (Nanyang Technological University/NTU). Kedua kampus asal Singapura ini juga menempati posisi yang sama di tingkat Asia.
Sedangkan survei yang dirilis oleh QS Asia University Rankings, UI masuk 10 besar kampus terbaik di Asia Tenggara, dengan menempati posisi ke-9. Kampus Indonesia selanjutnya yang ‘hanya’ masuk 20 besar adalah ITB (11) dan UGM (14).
Data di atas pun membenarkan asumsi Itje, yang menekankan bahwa untuk sekedar masuk 10 besar di level Asia Tenggara saja, perguruan tinggi di Indonesia masih kesulitan, tertinggal jika dibandingkan dengan kampus asal Singapura, Malaysia dan Thailand. Artinya, kualitas dosen di tanah air bukanlah dosen yang masuk level top di tingkat ASEAN.
“Kalau kualitas universitas kita belum masuk 10 besar di Asia Tenggara, itulah representasi dari kualitas dosen kita. Itu salah satunya, tapi (faktor) ini juga penting,“ tegas Itje.
Hal ini pun setali tiga uang dengan kualitas riset yang dihasilkan oleh dosen lokal, yang menurut Itje masih belum dikatakan baik. Menurutnya, dosen di tanah air harus menekankan pada riset yang dekat dengan masalah keseharian yang dihadapi masyarakat.
“Kalau misalnya bidang pertanian, ya riset yang hasilnya bisa langsung dipakai sama petani gitu, bidang perikanan juga, saya rasa riset-riset yang menyangkut dengan Indonesia masih perlu diperbanyak,” jelasnya.
Selain itu, Itje juga menilai jika pemerintah seyogyanya memberdayakan kampus sebagai mitra untuk melakukan pengkajian-pengkajian guna membantu mengeluarkan kebijakan yang tepat sasaran untuk masyarakat. Dengan demikian, kebijakan pemerintah nantinya merupakan kebijakan yang berbasis pada riset.
Hal ini disebutnya akan mendorong para dosen untuk melakukan riset dan pada akhirnya juga akan mendongkrak tingkat pendidikan Indonesia secara umum.
“Jadi dosen ini bisa mem-back up kebijakan pemerintah sehingga kebijakan yang dibuat berbasis riset dan tidak berbasis asumsi belaka,” tutur Anggota Dewan Pendidikan ini.
Kualitas dosen yang ada dan ditambahnya adanya rencana impor dosen, disebu Itje, merupakan representasi terbelakangnya tingkat pendidikan di Indonesia. Hal ini bertolak belakang dengan era tahun 60-70 an, di mana Indonesia justru mampu mengirim tenaga pendidik ke Malaysia.
“Tetapi ingat, dosen-dosen waktu itu masih merasakan pendidikan era Belanda toh? Jadi universitasnya pun masih kualitas Belanda,” katanya.
Itje pun menyayangkan jika kualitas pendidikan yang terbangun pada masa itu justru tidak dapat dikembangkan lebih jauh lagi. Tingkat pendidikan di Indonesia justru semakin mundur dan tertinggal dari negara-negara tetangga, bahkan kalah dari negara kecil seperti Singapura dan Malaysia.
“Jangan-jangan tidak mundur, tapi karena zaman sudah berubah tapi tidak dikembangkan jadi seolah-olah seperti mundur. Yang lain sudah jalan jauh, tapi kita masih mengagumi yang sudah kita kerjakan, jadi stagnan dan didahului oleh yang lain,” papar perempuan yang juga mengajar di Universitas Prof. Dr. Hamka (Uhamka) ini.
Bersambung ke halaman berikutnya
Artikel ini ditulis oleh:
Teuku Wildan