Ilustasi Suasana Kelas

Rasio Dosen

Praktisi dan pengamat pendidikan Doni Koesoema pun mengamini Itje. Menurutnya kualitas dari perguruan tinggi di tanah air memang mengalami degradasi alias penurunan.

Tidak hanya itu, ia juga menekankan pada rendahnya jumlah tenaga pengajar lulusan doktoral atau S3.

“Kita itu kurang dosen kedoktoran lh, rasionya itu tinggi mahasiswa sama dosen (doktoral),” katanya saat dihubungi Aktual, Senin (30/4).

Sekretaris Dirjen Sumber Daya dan Iptek Pendidikan Tinggi Kemristek Dikti, Prof John Hendri sempat mengungkapkan jika jumlah doktor di Indonesia pada tahun 2017 baru mencapai 31.554 orang, atau hanya mencapai 11,48% dari jumlah dosen yang berjumlah sekitar 270 ribu orang.

Jika dibandingkan dengan jumlah seluruh penduduknya, hanya 143 doktor per 1 juta orang penduduk di Indonesia. Angka ini masih relatif kecil jika dibandingkan dengan Malaysia yang memiliki 509 doktor (per 1 juta orang), Amerika (9.850 doktor per 1 juta orang), Jerman (3.990 doktor), Jepang (6.438 doktor), dan India (3.420 doktor).

Jumlah dosen lulusan S2 di Indonesia sendri mencapai 155.519 orang. Sementara dosen yang hanya bergelar sarjana mencapai 37 ribu orang. Padahal, UU Dosen dan Guru telah mengatur bahwa pendidikan minimal dosen harus pascasarjana.

“Dosen-dosen kita kebanyakan master, bagaimana kita bisa cepat maju kalau dosen yang ngampuh master,” jelas Doni.

Namun ia membantah jika menolak jika masalah pendidikan di tanah air dibebankan kepada jumlah dan kualitas dosen yang minim. Menurutnya, akar masalah dari hal ini adalah pengelolaan yang kuang tepat.

Ketika ditanya lebih spesifik, ia menjawab bahwa banyak kampus di Indonesia yang tidak menghitung secara cermat antara jumlah tenaga pendidik yang dimiliki dengan mahasiswa masuk, khususnya untuk program studi tertentu yang dipandang potensial untuk mendatangkan mahasiswa sebanyak-banyaknya.

“Jadi kualitasnya tidak bisa dipertanggungjawabkan gitu. Misalkan calon guru, (mahasiswa) calon guru saja sekarang sampai 1,2 juta orang, padahal kebutuhannya enggak segitu,” terang pengajar di Universitas Multimedia Nusantara (UMN) ini.

Di sisi lain, program studi sains seperti matematika dan matematika disebut Doni sangat sedikit peminatnya. Orientasi kampus yang cenderung mengarah ke pasar dinilainya menyebabkan hal ini.

Menurutnya, setiap kampus seharusnya tidak terlalu menitikberatkan pada pasar, melainkan juga harus diimbangi dengan pengembangan di bidang keilmuan.

“Nah di dalam bidang keilmuannya yang macet, kalau di bidang kelimuannya macet mana bisa ke pasar, kita akan kesulitan mencari,” tutur Doni.

Praktisi pendidikan, Doni Koesoema

Doni pun menyarankan agar pemerintah dapat mengatur ketentuan terkait jumlah mahasiswa masuk di setiap universitas agar rasio perbandingan antara tenaga pengajar dengan mahasiswa tetap terjaga dalam angka yang ideal. Ia bahkan menyebut badan seperti lembaga pengelola dana pendidikan (LPDP) tidak akan menjadi solusi jika pemerintah membiarkan market oriented terkait program studi tertentu yang menjadi favorit calon mahasiswa.

Sebagaimana diketahui, LPDP merupakan sebuah badan di bawah Kementerian Keuangan yang menjadi magnet bagi pencari beasiswa dalam lima tahun belakangan ini. Beasiswa yang diberikan juga termasuk untuk strata2 (pascasarjana) dan strata3 (doktoral).

Doni mengatakan, LPDP mungkin sangat baik untuk perkembangan Indonesia, khususnya menambah jumlah lulusan doktoral, dalam jangka panjang, tetapi tidak untuk jangka pendek.

“Itu (LPDP) enggak banyak bantu, itu kita sangat kurang karena kebijakan perekrutan mahasiswa enggak dibatasin,” katanya.

Ia mencontohkan program studi keguruan yang setiap tahun membludak mahasiswanya. Jumlah mahasiswa program studi keguruan dapat mencapai 400 ribu orang tiap tahunnya. Padahal, kebutuhan guru skala nasional hanya mencapai 75.000 orang saja.

Dalam peraturan menteri, perbandingan jumlah ideal dosen dengan mahasiswanya di perguruan tinggi swasta adalah satu banding 30 (1:30) untuk mata kuliah eksakta dan satu banding 45 (1:45) untuk sosial.

Sementara itu, untuk perguruan tinggi negeri perbandingan dosen dengan mahasiswanya adalah 1:20 untuk eksakta dan 1:30 untuk ilmu sosial.

“Kita sudah kelebihan (mahasiswa prodi keguruan), seharusnya moratorium. Menurut saya, perekrutan mahasiswa calon guru tidak boleh lagi karena pasti nganggur,” ujar Doni.

Terkait ini, anggota Komisi X DPR RI, Venna Melinda mengakui jika rasio perbandingan jumlah dosen dan mahasiswa memang menjadi masalah tersendiri bagi dunia perguruan tinggi di tanah air. Selama ini, kata Venna, standar homebase dosen berada di masing-masing program studi (prodi), di mana masing-masing prodi jumlah dosen minimum adalah enam dosen.

“Dalam beberapa RDPU (Rapat Dengar Pendapat Umum) dengan DPR RI, saya mendengar bahwa Kemristekdikti, sudah ada menggodok regulasi tersebut. Dalam perbaikan regulasi nantinya, tidak lagi melihat homebase dosen berdasarkan prodi tetapi melihat keseluruhan rasio dosen dan mahasiswa wajar atau tidak,” terang Venna kepada Aktual, Selasa (1/5) kemarin.

Menurutnya, rasio yang dimaksud akan dilihat dari waktu yang didedikasikan oleh dosen untuk sebuah prodi atau full time equivallence (FTE). Kecukupuan dosen, lanjutnya, akan diukur dengan rasio jumlah FTE dosen dibanding dengan jumlah FTE mahasiswa.

Ukuran FTE adalah jumlah dosen dibagi jumlah mahasiswa yang didasarkan pada ekuivalen penuh waktu, yaitu selama 37,5 jam per minggu atau 16 SKS per semester.

Venna mencontohkan, dalam sebuah fakultas terdapat 100 dosen dan 50 di antaranya merupakan dosen paruh waktu dengan jam kerja sebanyak 18,75 jam per minggu. 50 orang yang bekerja paruh waktu ini dihitung 25, sehingga jumlah dosen di fakultas ini memiliki FTE 75.

Sementara itu jumlah mahasiswa dalam fakultas yang sama mencapai 300. Maka perbandingan antara jumlah dosen dengan mahasiswa adalah 1:4.

Menurut Venna, saat ini telah ada acuan untuk universitas di Indonesia agar memperhatikan FTE dari dosen dan mahasiswa.

“Untuk itu Kemristekdikti harus melakukan pendampingan agar peraturan ini diterapkan secara konsisten. Jika terjadi pelanggaran, maka harus ada sanksi yang tegas bagi pihak kampus atau universitas yang melanggar,” ucap perempuan yang pernah bermain dalam film Catatan si Boy ini.

Terkait rasio dosen dan PTN, Venna menyatakan, hal ini sebenarnya dapat dilihat dari hasil pergelaran jalur SBMPTN dalam dua tahun terakhir, yaitu 2016 dan 2017.

Merujuk pada catatan Kemenristekdikti, Venna menyatakan jika jumlah pendaftar jalur SBMPTN pada 2017 mengalami peningkatan 10% dibandingkan 2016. Pada 2017, jumlah pendaftar mencapai 797.023 orang, sedangkan 2016 hanya terdapat 721,326 pendaftar.

Angka peningkatan ini juga terjadi dalam jumlah PTN yang berpartisipasi. Jika 2016 hanya terdapat 78 PTN, maka setahun berikutnya melonjak menjadi 85 PTN.

Namun demikian, sambung Venna, jumlah mahasiswa yang diterima pada 2016 dan 2017 tidak jauh berbeda, yakni 126.804 dan 128.085 orang. Dari fakta jumlah yang ada tersebut dapat dihitung, persentase peluang diterima di perguruan tinggi negeri pada 2016 sebesar 17,58%, sedangkan tahun 2017 hanya 16,07 %.

“Artinya, dari tahun 2016 ke 2017 mengalami penurunan peluang masuk perguruan tinggi negeri. Saya melihat dengan adanya seleksi baik SNMPTN, SBMPTN, ataupun jalur Mandiri merupakan salah satu wujud dari pembatasan jumlah mahasiswa perguruan tinggi negeri yang telah ada,” jelas politisi dari Partai Demokrat ini.

Tapi, terlepas dari itu semua, Venna mengharapkan dosen dan mahasiswa untuk sama-sama meningkatkan kualitasnya masing-masing. Meskipun daya serap mahasiswa juga penting, namun menurut Venna, tak ada salahnya jika dosen harus mengedepankan inovasi dalam metode perkuliahan.

“Setelah itu, diserahkan kepada mahasiswa untuk menangkap ilmu dari dosen selama proses perkuliahan berlangsung. Di Jerman dan Belanda saya melihat bahwa mahasiswa lebih dituntut untuk banyak membaca dan mempelajari mata kuliah yang ada di luar ruangan perkuliahan,” paparnya.

Bersambung ke halaman berikutnya

Artikel ini ditulis oleh:

Teuku Wildan