Bhima Yudhistira Adhinegara

Jakarta, Aktual.com – Kondisi harga minyak dunia yang terus melambung tinggi bakal sangat merugikan kondisi fiskal Pemerintah Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK). Pasalnya, pemerintah sendiri menentukan harga minyak dalam Indonesia Crude Price (ICP) cukup rendah dari harga saat ini.

Konsekuensinya tentu saja berimbas pada kerugian rakyat. Karena di satu sisi subsidi energi tak mampu menahan gejolak ini dan di saat bersamaan kenaikan harga bahan bakar minyak juga mungkin dihindari.

Menurut ekonom INDEF, Bhima Yudhistira Adhinegara, sejauh ini dengan adanya kenaikan harga minyak memang ada dampak terhadap Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) untuk sumber daya alam.

“Tapi masalahnya, di sisi lain subsidi energi diperkirakan tidak akan cukup menahan kenaikan harga minyak tersebut. Jika pemerintah tak hati-hati, rakyat yang jadi korban kebijakan ini,” jelas dia di Jakarta, Senin (25/12).

Pada APBN Perubahan 2017 dan APBN 2018, kata Bhima, asumsi harga minyak mentah sebesar US$ 48 per barel. Saat ini harga ICP sudah US$ 59 per barel.

“Sehingga selisih harga BBM subsidi dan harga keekonomian jika subsidi energi tersebut tidak cukup nanti dibebankan ke BUMN penugasan,” jelas dia.

Masalahnya, kata Bhima, pihak PT Pertamina (Persero) sudah terjepit, apalagi sudah dibebani subsidi BBM 1 harga. Sehingga ujungnya BUMN ini bisa memainkan strategi kelangkaan.

“Strategi mereka bisa saja dengan mengurangi premium di SPBU-SPBU-nya, dan kemudian diganti dengam pertalite. Di saat bersamaan, LPG 3kg juga mulai langka. Jadi kondisi itu pada akhirnya akan sama-sama merugikan masyarakat,” tandas dia.

 

Pewarta : Busthomi

Artikel ini ditulis oleh:

Bawaan Situs