Jakarta, Aktual.com – Hari kelima bernama “Kamis”. Berasal dari bahasa Arab “Khamis”, yang berarti “lima”. Setelah melewati hari Rabu bergumul dengan hakikat kebenaran hidup di empat penjuru mata angin, dengan mengolah empat sumber energi dan mengendalikan empat nafsu insani, pada hari kelima manusia harus menemukan sumber integritas sebagai “bintang penuntun” yang memberi dasar kesusilaan dan haluan perjuangan.
Seperti bintang yang bersudut lima, berbagai kaidah kesusilaan yang memancar dari segala penjuru dunia pun banyak yang bersusun lima.
Dalam Buddhisme, norma bersila lima ini terdiri dari: “panatipata” (tidak membunuh), “adinnadana” (tidak mencuri), “kamesumichachara” (tidak berzina), “musavada” (tidak berbohong), “soramiraya majjha pamadathana” (tidak mabuk-mabukan).
Senafas dengan itu, dalam kaidah kesusilaan Jawa dikenal lima larangan “Mo Limo”; madat (candu/narkoba), madon (berzina), minum (mabuk), main (judi), maling (mencuri/korupsi).
Di dalam kearifan tradisi Kepulauan Maluku, ‘arumbae’ (perahu) menjadi simbol eksistensial dengan mitos “lima” orang yang mendayung melewati tantangan laut. Dalam perkembangannya, dialektika antar ragam asal-usul dan tradisi itu pun melahirkan harmoni ‘basudara’ di bawah tuntunan kaidah bersila lima (Siwalima).
Dalam Islam, rukun agama ada “lima” (syahadat, shalat, zakat, puasa, naik haji). Dalam wiracarita Mahabharata, dikenal lima ksatria panutan “Pandawa Lima”. Dalam ajaran kearifan lain, termasuk dalan perguruan Taman Siswa, dikenal adanya “Panca Dharma”.
Bilangan lima melambangkan keutuhan (integritas) kodrat kemanusiaan. Bahwa kodrat manusia itu pada dasarnya bisa dikerucutkan ke dalam lima hakikat, yang satu sama lain saling kait-mengait, saling menyempurnakan:
Pertama, keberadaan manusia merupakan ada yang diciptakan. Manusia adalah kristalisasi dari cinta kasih Sang Maha Pencipta sebagai ada pertama. Sebagai makhluk ciptaan, manusia bersifat terbatas, relatif dan tergantung, sehingga memerlukan keterbukaan pada sesuatu yang transenden untuk menemukan sandaran religi pada yang mutlak. Menolak transendensi pada yang mutlak berisiko memutlakan yang relatif. Saat religi dipungkiri, manusia terdorong untuk mencari penggantinya dengan mempertuhankan hal-hal yang imanen (duniawi). Sebagai kristalisasi dari cinta kasih “Tuhan”, manusia harus mengembangkan cara berketuhanan yang penuh cinta kasih pula.
Kedua, keberadaan manusia merupaka ada bersama. Manusia tidak bisa berdiri sendiri, terkucil dari keberadaan yang lain. Untuk ada bersama dengan yang lain, manusia tidak bisa tidak harus ada-bersama-dengan-cinta; dengan mengembangkan rasa kemanusiaan yang penuh cinta kasih (adil dan beradab).
Ketiga, dalam ada bersama, manusia sebagai makhluk sosial memerlukan ruang hidup yang konkrit dan pergaulan hidup dalam realitas kemajemukan semesta manusia. Cara menghidupkan cinta kasih dalam kebhinekaan manusia yang mendiami tanah-air sebagai geopolitik bersama itulah manusia mengembangkan rasa persatuan dalam keragaman kebangsaan.
Keempat, dalam mengembangkan kehidupan bersama, cara mengambil keputusan yang menyangkut masalah bersama ditempuh dengan semangat cinta kasih. Ukuran utama dari cinta adalah saling menghormati. Cara menghormati manusia dengan memandangnya sebagai subyek yang berdaulat, bukan obyek manipulasi, eksploitisasi dan eksklusi, itulah yang disebut demokrasi permusyawaratan dengan hikmat-kebijaksanaan.
Kelima, keberadaan manusia adalah roh yang menjasmani. Secara jasmaniah, manusia memerlukan papan, sandang, pangan, dan pelbagai kebutuhan material lainnya. Perwujudan khusus kemanusiaan melalui cara mencintai sesama manusia dengan berbagi kebutuhan jasmaniah secara fair itulah yang disebut dengan keadilan sosial.
Hari kelima membawa kita ke jalan etis Pancasila sebagai (titik temu) moral publik semua ajaran keagamaan dan kesusilaan. Itulah dasar integritas dan haluan kejuangan yang membuat segala ikhtiar dan perjuangan berbuah kebahagiaan hidup bersama.
(Yudi Latif, Makrifat Pagi)