Jakarta, aktual.com – Aktivis Gerakan Mahasiswa 1998, Haris Rusly Moti, menilai bahwa dalam 100 hari pemerintahannya, Presiden Prabowo Subianto tengah berupaya keras mengubah pola pikir dan kebiasaan lama dalam pengelolaan keuangan negara.
“Menurut pandangan saya, dalam 100 hari pemerintahannya, Presiden Prabowo sedang berupaya keras mengubah pola pikir dan kebiasaan lama, misalnya pola pikir dan kebiasaan korup yang bergantung pada utang,” kata Haris Rusly Moti, Selasa (11/2).
Ia menambahkan bahwa kebijakan Presiden Prabowo dalam menutup defisit anggaran lebih mengutamakan pencegahan kebocoran dan korupsi, serta melakukan efisiensi dan penghematan, dibandingkan menambah utang baru.
“Saya memandang kebijakan Presiden Prabowo menutup defisit bukan dengan utang, tetapi dengan mencegah kebocoran dan korupsi, serta melakukan efisiensi dan penghematan, adalah pola pikir dan kebiasaan baru dalam pengelolaan negara,” lanjutnya.
Menurutnya, jika mengikuti pola pikir dan kebiasaan lama, pemerintah bisa saja kembali mengajukan utang untuk membiayai program strategis.
“Padahal, bisa saja Presiden Prabowo tidak perlu melakukan efisiensi, penghematan, dan pemotongan anggaran kementerian/lembaga serta pemerintah daerah sebesar Rp306 triliun. Jika menggunakan pola pikir dan kebiasaan lama, tinggal kita ajukan utang lagi untuk membiayai program strategis pemerintahan Prabowo-Gibran,” ujarnya.
Lebih lanjut, Haris menyoroti bahwa selama ini utang negara menumpuk untuk membiayai kegiatan yang tidak produktif.
“Jika diperhatikan, kita menumpuk utang untuk kegiatan yang tidak produktif. Saya menyebutnya sebagai kegiatan ekonomi ‘omong kosong.’ Bayangkan, kita berutang untuk membiayai kegiatan perjalanan dinas dan acara-acara seremonial, seminar, FGD, dan lain-lain. Bahkan, kita berutang untuk menutup defisit akibat kebocoran dan korupsi,” katanya.
Namun, ia menegaskan bahwa dirinya tidak menolak utang secara ekstrem.
“Pada prinsipnya, kita bukan ‘ekstremis’ yang antiutang. Namun, mestinya utang dikelola untuk kebijakan yang bersifat produktif dan berdampak langsung pada pembangunan kesejahteraan rakyat,” ucapnya.
Ia juga menyoroti bagaimana selama era reformasi, pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih banyak didorong oleh konsumsi yang bersumber dari pengeluaran pemerintah.
“Memang harus diakui, sepanjang reformasi, arus utama ekonomi kita tumbuh dari konsumsi yang bersumber dari kegiatan omong kosong seperti itu. Pertumbuhan kita disumbang oleh government spending yang mendorong tumbuhnya konsumsi,” jelasnya.
Menurutnya, perjalanan dinas pejabat pusat dan daerah telah menjadi bagian dari rantai kegiatan ekonomi yang tidak produktif.
“Misalnya, perjalanan dinas para pejabat pusat dan daerah menjadi rantai kegiatan ekonomi ‘omong kosong’ yang menumbuhkan perusahaan penerbangan, hotel, restoran, panti pijat, taksi, dan lain-lain,” ujarnya.
Karena itu, ia menilai kebijakan Prabowo untuk tidak bergantung pada utang memiliki konsekuensi besar.
“Saya memandang, ketika Presiden Prabowo mengubah haluan yang tidak bergantung pada utang, misalnya, maka konsekuensinya pemerintah harus menutup defisit anggaran dengan mencegah kebocoran dan korupsi, serta melakukan efisiensi dan penghematan,” katanya.
Selain itu, ia juga menyinggung kebiasaan lama di Kementerian Keuangan yang cenderung nyaman dengan defisit anggaran.
“Jika kita perhatikan di era sebelumnya, para pejabat Kementerian Keuangan kabarnya cenderung ‘happy’ dengan defisit anggaran, yang menjadi alasan dan dasar untuk terus menumpuk utang,” lanjutnya.
Dalam pandangannya, pengalihan anggaran Rp306 triliun dari kegiatan tidak produktif ke sektor yang lebih berdampak langsung bagi masyarakat adalah langkah besar.
“Karena itu, saya memandang switching anggaran Rp306 triliun dari kegiatan yang tidak produktif (omong kosong) kepada kegiatan ekonomi produktif yang berdampak langsung kepada rakyat adalah sebuah revolusi politik dalam pengelolaan negara,” ungkapnya.
Namun, ia menilai ada banyak kepentingan yang terganggu akibat kebijakan efisiensi ini.
“Saya memandang banyak kepentingan, baik di dalam tubuh pemerintahan maupun di luar pemerintahan, yang terganggu ketika mata air rentenya ditutup melalui efisiensi dan penghematan. Selain APBN dipakai untuk kegiatan omong kosong, juga banyak sekali program fiktif yang merugikan negara triliunan rupiah,” katanya.
Haris juga memperingatkan bahwa kebijakan efisiensi ini akan menghadapi berbagai tantangan dan hambatan.
“Maka, sudah pasti banyak gangguan dan guncangan yang direkayasa agar kebijakan untuk efisiensi dan pencegahan kebocoran gagal dijalankan. Sebagai contoh, dalam upaya mencegah kebocoran negara di sektor minyak dan gas, pasti akan menghadapi gangguan dan guncangan,” paparnya.
Ia mencontohkan praktik pengoplosan gas elpiji sebagai bentuk kebocoran yang sering terjadi.
“Sebagai contoh, gas elpiji 3 kg diambil, dioplos ke tabung 12 kg, kemudian dijual ke industri. Itu rata-rata 5–10 persen bocornya. Bahkan, gas elpiji 3 kg ada yang dijual hanya 2,5 kg, bahkan ada yang hanya 2,4 kg,” katanya.
Meskipun demikian, ia mengakui bahwa perubahan kebijakan ini bukanlah hal yang mudah.
“Menurut pandangan saya, tidak mudah mengubah pola pikir dan kebiasaan lama, apalagi membangun pola pikir dan kebiasaan baru untuk menjalankan kebijakan negara yang sejalan dengan dasar konstitusi UUD 1945,” ujarnya.
Menurutnya, semangat UUD 1945 menjadi dasar dari kebijakan pemerintahan Prabowo, termasuk Asta Cita dan Program Hasil Cepat.
“Napas dari UUD 1945 yang menjadi dasar dari Asta Cita dan Program Hasil Cepat adalah kepedulian dan perlindungan,” katanya.
Ia menyebut konsep kebijakan ini sebagai Prabowocare.
“Saya menyebutnya Prabowocare. Saya tidak mau menggunakan istilah Prabowonomic, yang terlalu berorientasi pada stabilitas makro dan kadang menciptakan situasi timpang serta tidak seimbang dengan kondisi ekonomi rakyat,” ucapnya.
Menurutnya, Prabowocare lebih berorientasi pada amanat UUD 1945 yang menekankan perlindungan dan kesejahteraan rakyat.
“Prabowocare diorientasikan pada kebijakan yang sesuai dengan amanat Pembukaan UUD 1945, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan seterusnya,” jelasnya.
Haris menegaskan bahwa seluruh kebijakan efisiensi, penghematan, pencegahan kebocoran, dan pengurangan ketergantungan pada utang serta impor ditujukan untuk kepentingan rakyat.
“Napas dari seluruh kebijakan efisiensi, penghematan, pencegahan kebocoran dan korupsi, serta tidak bergantung pada utang dan impor, diorientasikan semata-mata untuk kepedulian dan perlindungan kepada rakyat,” pungkasnya.
Artikel ini ditulis oleh:
Rizky Zulkarnain