Atau, mungkin harta banyak yang dimaksud jeng Sri itu termaksud sumber daya alam (SDA) yang terkandung di dalam dan di atas permukaan bumi Pertiwi? Tidakkah Ani tahu, bahwa sebagian besar SDA kita sudah menjadi milik asing? Tidak percaya? Lihat bagaimana Freeport menjadikan kandungan emas dan hasil tambang lain di perut bumi Papua sebagai aset yang harus dibayar pemerintah jika ngotot mendivestasi saham mereka hingga 51%.
Tidakkah ini aneh? Lha wong Papua itu bagian dari Indonesia? Mosok negara harus membayar barang miliknya sendiri kepada asing? Kegilaan model apalagi yang dipertontonkan para pejabat publik kita?
Masih soal SDA yang dikuasai asing, saya ingin mengingatkan Ani lagi. Bahwa, selama puluhan tahun pemanfaatan kekayaan alam kita hanya menganut prinsip, sedot dan jual. Disedot habis-habisan lalu diekspor dalam bentuk barang mentah. Nyaris tidak ada pengolahan di dalam negeri yang memberi nilai tambah.
Padahal, jika dikembang kan hilirisasi industri dengan sungguh-sungguh dan konsekwen, banyak sekali nilai tambah yang diperoleh. Dari sisi harga, barang jadi dan setengah jadi tentu jauh lebih mahal ketimbang barang mentah. Hilirisasi juga bakal membuka banyak tenaga kerja, menghasilkan aneka pajak dan yang tidak kalah penting, community development yang amat bermanfaat bagi pendudukan sekitar.
Masih soal hilirisasi ini pula yang menjelaskan, mengapa tambang besar semacam Freeport emoh membangun smelter. Bahwa biaya membangun smelter mahal, memangiya. Tapi, jika selama ini mereka bisa mengangkut barang mentah langsung kenegerinya, kenapa sekarang harus diolah di Indonesia? Bukankah sudah lama terendus, bahan mentah hasil perut bumi Papua tidak menghasilkan emas, perak, dan tembaga semata? Kuat diduga juga ada uranium yang konon harganya 100 kali harga emas dan berbagai mineral berharga lainnya yang selama ini lolos dari pantauan Pemerintah.
Malas dan egois
Artikel ini ditulis oleh:
Wisnu