Jakarta, aktual.com – Penganugerahan Bintang Mahaputera oleh Presiden Prabowo Subianto kepada ratusan tokoh melalui upacara di Istana Negara, Jakarta, pada Senin (25/8) dianggap keliru. Bahkan bertentangan dengan UU No. 20 tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan yang menekankan antara lain pada asas kehormatan, keteladanan dan keterbukaan.
Ketua Dewan Nasional Setara Institut Hendardi mengingatkan penganugerahan Bintang Mahaputera harus mengikuti Pasal 2 UU No 20 itu. Khususnya mengenai asas-asas yang melimitasi penganugerahan dilakukan secara serampangan kepada tokoh-tokoh kontroversial.
“Penganugerahan Bintang Mahaputera pada tahun 2025 harus ditolak,” kecam Hendardi, dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Kamis (28/8).
Hendardi mengutip asas dalam Pasal 2 UU yang menekankan pada asas kemanusiaan, asas keteladanan, asas kehati-hatian, asas keobjektifan, dan keterbukaan. Sementara tokoh-tokoh yang menerima anugerah tergolong kontroversial. Memiliki jejak pelanggaran HAM masa lalu, bahkan pernah terjerat perkara korupsi.
“Beberapa figur secara objektif terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia masa lalu, utamanya Tragedi HAM 1998 dan Pelanggaran HAM seputar Referendum Timor Leste, seperti Wiranto,” kata Hendardi.
“Presiden juga memberikan Bintang Mahaputera kepada eks narapidana korupsi, utamanya Burhanuddin Abdullah,” sambungnya.
Dirinya mengakui bahwa Burhanuddin merupakan salah satu arsitek ekonomi pemerintahan Prabowo. Namun statusnya sebagai eks koruptor harusnya dijadikan pertimbangan untuk tidak diberikan Tanda Kehormatan sangat tinggi sekelas Bintang Mahaputera.
Menurutnya, penganugerahan Bintang Mahaputera telah melanggar asas-asas paling mendasar. “Karena beberapa alasan yang secara substantif bertentangan dengan asas-asas dalam UU tersebut,” ujarnya.
Dirinya juga mempertanyakan mengapa Prabowo memberi bintang kehormatan kepada para pembantunya yang belum menunjukkan kinerja optimal, seperti Teddy Indra Wijaya dan Bahlil Lahadalia. “Apa jasa para menteri yang baru menjabat dengan penunjukan politik presiden itu?” selorohnya.
Bukan hanya integritas, Hendardi mengingatkan sejumlah nama yang mendapatkan anugerah Bintang Mahaputera juga disebut-sebut dalam kasus korupsi.
“Penolakan publik yang luas, dari akademisi dan intelektual sampai para aktivis masyarakat sipil, juga pertanyaan-pertanyaan mereka atas integritas dan jasa besar para penerima Bintang Mahaputera itu menunjukkan proses profiling calon penerima Bintang Mahaputera tidak terbuka dan tidak melibatkan publik,” ungkapnya.
Pemberian Bintang Mahaputera yang serampangan, lanjut Hendardi, selain menurunkan kredibilitas dan nilai dari penghargaan negara, bakal menjadi preseden bagi presiden dan pemerintahan dalam jangka panjang. Presiden sudah pasti tidak akan menganulir pemberian Bintang Mahaputera tersebut, tapi publik mesti mengingatkan bahwa tindakan negara, termasuk dalam bentuk pemberian Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan harus tunduk pada hukum negara.
“Mengabaikan hukum dan peraturan perundang-undangan merupakan bentuk pelanggaran serius atas Sumpah Presiden sendiri yang diucapkan dalam pelantikan,” kata Hendardi.
Artikel ini ditulis oleh:
Eka Permadhi

















