“Anehnya, jika bea tarif ekspor ternak saja dikenakan tarif 25%, sementara untuk mineral logam yang belum diolah, hanya dikenakan tarif 7,5 % dan 10%. Seharusnya perlakuan tarifnya berbeda, yang lazimnya untuk mineral logam 25% dan ternak 10%. Bahkan kalau melihat tabel lampiran Permenkeu No 153 Tahun 2014, untuk mineral seharusnya sudah dikenakan bea tarif 50% dan 60% sejak tahun 2016,” tambah dia.
Kemudian jika mencermati rekomendasi ekspor mineral yang telah diterbitkan Ditjen Minerba baru baru ini, menurut Yusri terhadap beberapa perusahaan diduga bermasalah. Antara lain rekomendasi tertanggal 3 Juli 2019 terhadap PT Dinamika Sejahtera Mandiri sebanyak 2,4 juta metric ton (mtn) bijih bauksit dan PT Ceria Nugraha Indotama sebanyak 2,3 juta mtn bijih nikel di bawah kadar Ni 1,7 %. Pemberian rekomendasi tersebut oleh salah satu pejabat Ditjen Minerba diberikan lantaran kedua perusahaan tersebut berkomitmen membangun smelter dengan masing-masing kapasitas 5 juta dan 7 juta ton per tahunnya.
“Pertanyaannya, apa jaminan kedua perusahaan tersebut akan betul-betul membangun smelter? Kalau di kemudian hari, memutuskan batal membangun smelter atas kajian mereka sendiri tetapi sudah terlanjur menikmati hasil keuntungan ekspor mineral, lantas apakah pejabat yang memberikan rekomendasi sudah siap bertanggungjawab secara hukum?” Pungkasnya.
Laporan: Dadangsah Dapunta
Artikel ini ditulis oleh:
Dadangsah Dapunta
Andy Abdul Hamid