Jakarta, Aktual.com – Pembentukan holding BUMN oleh pemerintah, terutama pada sektor pertambangan yang mengalihkan saham milik pemerintah dari PT Aneka Tambang (Antam) Tbk sebesar 65%, PT Bukit Asam (PT BA) Tbk sebesar 65,02%, PT Timah Tbk sebesar 65%, kepada PT Inalum (Persero), ternyata dikabarkan tidak bisa dikonsolidasikan.

Hal ini terkendala dengan saham istimewa pada anak usaha holding. Sebagaimana diketahui, setelah saham pemerintah dialihkan kepada induk holding, dalam hal ini Inalum, maka secara otomatis PT Timah, Antam dan PT BA menjadi anak perusahaan Inalum.

Namun pemerintah tidak mengalihkan semua sahamnya dari anak holding, melainkan menyisa sebagian kecil saham untuk mempertahankan statusnya sebagai perusahaan BUMN.

Hal ini sebagaimana disebut dalam PP 72: “Dalam hal kekayaan negara berupa saham milik negara pada BUMN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf d dijadikan penyertaan modal negara pada BUMN lain sehingga sebagian besar saham dimiliki oleh BUMN lain, maka BUMN tersebut menjadi anak perusahaan BUMN dengan ketentuan negara wajib memiliki saham dengan hak istimewa yang diatur dalam anggaran dasar”.

Saham istimewa dwi warna pada anak holding itulah yang menjadi ganjalan dalam melakukan konsolidasi aset. Karena jika dipaksakan, akan bertentangan dengan kaidah Peraturan Standar Akuntansi 65 (PSAK 65) dalam neraca laporan keuangan. Sedangkan PSAK 65 juga terintegrasi atau merefer ke International Financial Reporting Standart (IFRS).

Di sisi lain, jika pemerintah tidak mencantumkan saham istimewa pada anak usaha holding, maka kebijakan pemerintah akan melanggar hukum karena menghilangkan tiga perusahaan BUMN dengan dijadikan swasta di bawah holding.

Menanggapi isu ini, Dosen Akuntansi Universitas Padjadjaran, Ersa Tri Wahyuni mengatakan perlu adanya penelusuran dalam, sejauh mana kewenangan pemerintah atas saham istimewa pada anak usaha holding.

“Kita perlu melihat secara case per case, pemerintah punya hak apa di saham seri A tersebut. Kalau dari sudut pandang akuntansi sederhana saja, perusahaan induk dapat mengkonsolidasi anak perusahaan bila memiliki pengendalian. Yang perlu ditelusuri apakah perusahaan induk masih memiliki pengendalian penuh bila pemerintah memiliki saham seri A dengan hak istimewa seperti yang tertulis dalam PP 72/2016. Bila dilihat kasus Indosat, kan Pemerintah juga punya saham seri A di sana, tapi Indosat tetap dikonsol oleh perusahaan induknya karena hak pemerintah tidak terlalu luas seperti di PP 72. Jadi harus dilihat satu satu kasusnya,” Kata Ersa Tri Wahyuni kepada Aktual.com di Jakarta, Kamis (18/1).

Sebenarnya hal ini juga telah dipertanyakan oleh Wakil Ketua Komisi VI DPR Inas Nasrullah Zubir, dia merasa pemerintah telah berbuat kesewenag-wenangan pada pemilik saham mayoritas, lantaran sekecil apapun saham pemerintah pada anak perusahaan holding (saham istimewah) akan mampu mengintervensi anak perusahaan tersebut.

“Ini tentu kesewenag-wenangan, misalkan satu persen saja saham pemerintah pada anak perusahaan holding, ia (pemerintah) bisa mengintervensi kebijakan pada anak perusahaan itu. Padahal disitu terdapat saham publik. Nah aturan itu mengacu kemana? Dalam UU tidak ada,” kata Inas.

Sementara Anggota Komisi VII DPR, Eni Maulani Saragih menyayangkan langkah holding yang terkesan terburu-buru hingga tanpa melibatkan persetujuan DPR. Begitupun rencana holding sektor migas yang akan dilaksanakan dalam waktu dekat.

Mestinya kata Eni, pemerintah menunggu rampungnya pembahasan RUU migas yang sedang digodok oleh DPR, hal ini tidak lain agar tatakelola kelembagaan migas dapat diperbaiki secara holistik dan tidak terjadi kerancuan.

“Mestinya tunggu dulu penyelesaian UU, baru kemudian holding. Selain itu juga, holding perlu persetujuan DPR, meskipun niat dan tujuan holding itu baik, kalau tidak ada pengawas dari DPR, itu bahaya,” ujar dia.

Untuk dipahami, jika pembentukan holding ini tidak mampu mengkonsolidasikan nilai aset, maka tujuan holding untuk memperbesar neraca keuangan sebagai jaminan mendapatkan tambahan modal akan tidak tercapai. Dengan demikiam ekspansi usaha yang diharapkan tidak terjadi dan bisnis perusahaan hanya berjalan seperti biasanya.

Dadangsah Dapunta

Artikel ini ditulis oleh:

Dadangsah Dapunta