Holding Migas tak melibatkan DPR sebagai wakil rakyat

Menteri BUMN Rini Soemarno beralasan Holding Migas akan meningkatkan modal perusahaan, beberapa faktor bisnis bisa diefisienkan seperti penurunan harga gas karena tidak tumpang tindih terutama dalam pasar yang sama. Selain itu, pembiayaan pengembangan usaha juga tidak lagi menjadi masalah. Rini menilai perusahaan akan semakin kuat karena modal semakin besar.

Wakil Ketua Komisi VI DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat, Azam Asman Natawijana menilai tujuan Holding pemerintah sangat bias dan tidak ada jaminan dari Kementerian BUMN untuk penurunan harga gas. Pasalnya Kewenangan menentukan tarif bukan berada di Kementerian BUMN melainkan pada Kementerian ESDM.

“Apa manfaat langsung holding bagi masyarakat? Tidak ada jaminan harga gas bisa turun, siapa berani jamin? Kan regulasi berada di sebelah (Kementerian ESDM). Harusnya holding melibatkan ESDM dan DPR,” tegas dia.

Saat Aktual.com mengkonfirmasi kepada Kementerian ESDM, terungkap bahwa kajian pembentukan holding sama skali tidak melibatkan ESDM selaku Kementerian tehnis yang bertanggungjawab atas keberlangsungan persediaan energi nasional.

“Tidak, tidak ada melibatkan kita,” kata salah satu unsur pimpinan yang tidak mau disebut namanya.

Dengan demikian hoding ini tidak ada jaminan akan memberi kebermanfaatan bagi masyarakat secara langsung. Lalu apa sesungguhnya motif dibalik holding migas dan pihak siapa yang diuntungkan?

Menurut Koalisi Anti Utang bahwa kebijakan ini tidak terlepas dari upaya meningkatkan nilai aset Pertamina sebagai jaminan mencari sumber pendanaan berupa utang.

“Ini konsolidasi aset supaya meningkat nilainya untuk mendapat sumber pendanaan baru,” kata Ketua Koalisi Anti Utang, Dani Setiawan.

Selain itu, nantinya dengan holding, PGN berposisi menjadi anak usaha Pertamina. Dengan skema tersebut, Pertamina akan banyak mendapatkan manfaat. Di antaranya Pertamina akan menguasai 80 persen infrastruktur pipa dan pasar gas bumi seluruh Indonesia, yang selama ini di kelola oleh PGN.

“Dengan holding, otomatis aset PGN dikuasai Pertamina yang akan menjadi induk holding dan bisa digunakan oleh anak perusahaan lainnya yaitu Pertagas,” ujar pria yang juga sebagai analis Asosiasi Ekonomi-Politik Indonesia (AEPI)

Dengan penguasaan infrastruktur ini tentu Pertamina akan menjadi hegemoni pemasok gas bumi di Indonesia mulai dari pembangkit listrik, industri hingga ke rumah tangga yang selama ini dikelola PGN. Artinya bisa dikatakan melalui holding, Pertamina akan meraih cita-citanya yang sejak dulu menginginkan agar pipa distribusi gas bumi PGN menjadi open access. Sehingga, Pertamina melalui anak usahanya yakni Pertamina Gas (Pertagas) tidak perlu lagi susah payah membangun infrastruktur gas bumi.

“Nanti PGN tidak bisa lagi menghalangi Pertamina/Pertagas pasok gas bumi pakai pipa gas PGN termasuk menjual gas ke pelanggan PGN sendiri. Jadi tergantung kebijakan induk holding” katanya.

Pendapat yang mengatakan bahwa motif hoding migas sebagai modus penguasaan infrastruktur dan pasar gas, diperkuat oleh pandangan Indonesian Natural Gas Trader Association (INGTA) atau Organisasi Perusahaan Distributor Gas Alam Indonesia.

Menurut Ketua INGTA, Sabrun Jamil dengan penguasaan infrastruktur akan lebih membantu Pertamina untuk mendistribusikan gasnya yang didapat dari Exxon. Bisa dikatakan langkah pencaplokan PGN dan penguasa infrastruktur yang selama ini dikuasai PGN sebagai jalan menyelamatkan bisnis gas Pertamina yang terlanjur ditandatangani pada saat kunjungan Wakil Presiden Amerika Serikat (AS), Michael Richard Pence berkunjung ke Indonesia.

Jika hal ini tidak dilakukan, diperkirakan Pertamina sulit mendapatkan pasar dan menjual gas yang di impor dari Exxon. Pasalnya, selain gas domestik berlebih, harga gas dari Amerika Serikat juga diperkirakan tidak kompetitif.

“Saya heran kon dulu Pertamina tandatangan kontrak jangka panjang, bagaimana perhitungan neraca saat itu? Padahal gas kita berlimpah, dan beberapa lapangan mulai produksi, mungkin 5 tahun kedepan kita nggak perlu impor, gas yang ada aja nggak terserap,” pungkas dia.

Selain dari Exxon, informasi yang diterima Aktual.com bahwa Pertamina sudah terikat kontrak impor gas dari beberapa perusahaan migas lainnya hingga berjumlah 19’5 mtpa. Dengan asumsi harga minyak USD 60 per barel, maka nilainya sekitar Rp 87 Triliun. Lebih memprihatinkan diduga komitmen ini terjadi pada saat harga minyak dunia di kisaran USD 100 – 120 per barel.

Namun Direktur Utama PT Pertamina, Elia Massa Manik terkesan mengatakan PGN menjadi beban baginya jika holding terjadi, dia menuding Perusahaan itu dalam kondisi tidak sehat.

“Kalau kamu mau lihat perusahaan sehat atau tidak, misal kamu ngutang ke bank, bank itu akan lihat EBITDA sebagai ukuran kemampuan bayar utang. Kalau ada perubahan utangnya naik terus, EBITDA turun terus, artinya apa? Nah, coba lihat EBITDA PGN 7 tahun terakhir. Itu Tbk, bisa dilihat. Baru kemudian kira-kira kalau Pertamina ngambil PGN gimana,” ujar Elia.

Lalu jika secara langsung rakyat tidak mendapat jaminan penurunan harga gas dari kebijakan holding, kemudian Pertamina terkesan merasa dibebankan oleh PGN, maka siapa yang sesungguhnya diuntungkan? Pasalnya dalam tubuh PGN sendri juga terlihat jelas ada upaya penolakan terhadap rencana holding.

Untuk dicermati, pada RUPS-LB PGN yang dilangsungkan pada 25 Januari 2018 lalu, total pemegang saham yang hadir berjumlah hampir 79% dari seluruh total saham yang beredar.

Hasil voting untuk agenda pertama menunjukan hasil sebagai berikut:
Suara Hadir : 19.211.669.059 (100%)
Suara Tidak Setuju: 4.136.656.759 (21%)
Suara Abstain: 110.821.600 (0.5%)
Suara Setuju: 14.964.190.700 (77.9%)

Maka bila dihitung suara setuju merepresentasikan 61% dari seluruh total saham, dimana 57% saham PGN dimiliki oleh pemerintah. Sehingga itu adalah suara pemerintah dan yang abstain. Lalu berapa yang tidak setuju? Ternyata dapat dipahami yang menolak itu adalah hampir seluruh pemegang saham publik yang hadir.

Namun terlepas dari siapa yang mendapat berkah atas permainan gas nasional dari kebijakan holding, saat ini bola panas telah dilempar Menteri Rini kepada Presiden Jokowi. Bahwa RUPS-LB PGN tidak membuahkan hasil apa apa karena terganjal oleh landasan hukum RPP Holding Migas yang belum ditandatangani oleh Presiden Jokowi.

Pada kesimpulan RUPS-LB itu disebutkan bahwa persetujuan akan pengalihan saham milik pemerintah yang ada di PGN ke Pertamina melalui Penyertaan Modal Negara akan batal demi hukum jika RPP tidak terbit dalam jangka waktu 60 hari terhitung sejak RUPS-LB.

Sikap anggota holding…..

Artikel ini ditulis oleh:

Dadangsah Dapunta
Eka