Jakarta, Aktual.com – Guna Pembentukan Holding Migas, Kementerian BUMN tengah mengebut rampungnya Rancangan Undang-Undang (RUU) Holding Migas dengan skema PT Pertamina (Persero) mencaplok PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk (PGN).
Ketua Umum Indonesian Natural Gas Trader Association (INGTA) atau Organisasi Perusahaan Distributor Gas Alam Indonesia, Sabrun Jamil mengatakan dengan holding ini, nantinya Pertamina akan menguasai 80 persen infrastruktur pipa dan pasar gas di Indonesia.
Sehingga akan sangat memungkinkan bagi Pertamina untuk monopoli pasar dan memasok gas bagi pembangkit dan industri, karena rival terberatnya selama ini yaitu PGN sudah ‘disingkirkan’ melalui lobi kebijakan holding. Tapi Sabrun meminta pemerintah bertindak adil agar memberi ruang bagi pihak swasta untuk berpartisipasi dalam niaga gas.
“Holding itu yang pasti tujuannya memperbesar nilai aset untuk berutang. Kemudian PGN masuk ke Pertamina itu malah membuat struktur jadi menggelembung dan sulit diawasi. Yang dibutuhkan memperbesar bisnis, bukan memperbesar struktur,” kata dia saat dihubungi Aktual.com, Selasa (19/12).
“Dan yang terpenting harus juga ada ruang bagi swasta untuk berpartisipasi, jadi butuh pengaturan,” tambah Sabrun.
Namun sejauh ini Sarbun melihat kebijakan holding migas hanya pada persoalan kepentingan penguasaan infrastruktur dan pasar, belum ada tujuan yang jelas bersifat strategis dari pemerintah untuk mencapai kedaulatan energi.
“Belum ada obrolan dari pemerintah mengenai hal strategis untuk mencapai kedaulatan energi. Holding ini tak ada gunanya jika tidak ada hal yang strategis terutama agar harga menjadi lebih murah,” kata dia.
Lebih lanjut dengan penguasaan infrastruktur, akan lebih membantu Pertamina untuk mendistribusikan gasnya yang didapat dari Exxon. Bisa dikatakan langkah pencaplokan PGN dan penguasa infrastruktur yang selama ini dikuasai PGN, sebagai jalan menyelamatkan bisnis gas Pertamina yang terlanjur ditandatangani pada saat kunjungan Wakil Presiden Amerika Serikat (AS), Michael Richard Pence ke Indonesia.
Jika hal ini tidak dilakukan, diperkirakan Pertamina sulit mendapatkan pasar dan menjual gas yang di impor dari Exxon. Pasalnya, selain gas domestik berlebih, harga gas dari Amerika Serikat juga tidak kompetitif.
“Saya heran kok dulu Pertamina tandatangan kontrak jangka panjang, bagaimana perhitungan neraca saat itu? Padahal gas kita berlimpah, dan beberapa lapangan mulai produksi, mungkin 5 tahun kedepan kita nggak perlu impor, gas yang ada aja nggak terserap,” pungkas dia.
Sudah menjadi rahasia umum bawa selama ini Pertamina menginginkan open access pipa yang dimiliki PGN untuk kelancaran bisnis anak usahanya yaitu Pertamina Gas (Pertagas), namun dengan holding ini, secara otomatis Pertamina bisa menggunakan seluruh pipa yang dibangun oleh PGN.
(Reporter: Dadangsah Dapunta)
Artikel ini ditulis oleh:
Dadangsah Dapunta
Eka