Dalam laporannya peneliti juga mengulas buzzer di 70 negara, termasuk di Indonesia, digunakan antara lain untuk menyebarkan propaganda pro pemerintah/partai, menyerang lawan politik, menjauhkan atau mengalihkan pembicaraan atau kritik dari masalah penting, menekan oposisi atau seseorang secara personal, atau menyebarkan informasi untuk memecah-belah publik.
“Beberapa pertumbuhan ini berasal dari para pendatang baru yang sedang bereksperimen dengan alat dan teknik propaganda komputasi selama masa pemilu atau sebagai alat baru untuk mengontrol informasi,” ungkapnya.
Untuk akun-akun media sosial yang digunakan oleh para buzzer yakni terdiri dari akun manusia, bot, cyborg, serta akun hasil pencurian atau peretasan di media sosial seperti Twitter, Facebook, dan Instagram.
“Khusus di Indonesia, bahwa buzzer digunakan oleh politikus dan partai politik serta kontraktor swasta,” paparnya.
Artikel ini ditulis oleh: