Perjalanan hidup manusia memang tidak terduga. Siapa nyana seorang gadis 17 tahun asal Malang, Jawa Timur, yang dijual dan dijadikan “budak” di Amerika Serikat (AS), akhirnya bisa bebas. Bahkan ia lalu bangkit dan menjadi aktivis anti perdagangan manusia di negeri Paman Sam tersebut.
Gadis itu adalah Ima Matul Maisaroh. Lahir di Pagelaran, Kabupaten Malang, Jawa Timur pada 20 Maret 1980, Ina menjalani pahit getir kehidupan yang luar biasa. Pengalaman itu berawal pada 1997, ketika ia ditawari pekerjaan sebagai pramuwisma di AS dari seorang warga AS yang memiliki saudara di Malang.
Latar belakang pendidikan Ima adalah SD dan Madrasah Tsanawiyah (MTs) di Kanigoro, Pagelaran, Kabupaten Malang. Ia sempat mengenyam pendidikan di SMA, tetapi cuma sampai kelas I.
Ima dijanjikan gaji 150 dollar AS (sekitar Rp 600 ribu, berdasarkan kurs saat itu). Jumlah itu cukup besar menurut ukuran tahun 1997, apalagi latar belakang pendidikan Ima cuma jebolan kelas I SMA. Waktu itu, Ima sendiri sedang galau karena kehidupan pernikahannya baru saja kandas. Ima pun menerima tawaran ke AS itu, dan membatalkan niatnya pergi ke Hongkong sebagai tenaga kerja wanita (TKW).
Saat berangkat ke AS, usia Ima baru 17 tahun. Ia punya harapan besar, namun kenyataan terbukti jauh lebih pahit ketimbang mimpi indahnya. Majikannya memperlakukan Ima bak seorang budak. Ia diperlakukan kasar dan dipaksa bekerja lebih dari12 jam tiap hari, tanpa digaji, selama tiga tahun (1997-2000).
Di tengah penderitaannya yang seolah tanpa harapan di negeri asing, suatu hari Ima menulis surat minta tolong dengan bahasa Inggris seadanya kepada tetangganya. Sang tetangga yang baik hati menyelamatkan Ima, dengan membawanya ke kantor lembaga penghapusan perbudakan, Coalition to Abolish Slavery and Trafficking (CAST).
Di lembaga itulah, Ima mendapat perlindungan, juga pengetahuan dan berbagai keterampilan. Pikirannya pun menjadi terbuka tentang banyak hal, khususnya tentang praktik perdagangan manusia di banyak negara. Seperti dituturkannya pada Kompas (20 Desember 2016), pada 2005, Ima memutuskan menjadi aktivis yang melawan perdagangan manusia.
Ima bergabung dengan CAST dan menjabat koordinator korban yang selamat dari perdagangan manusia. Ada lebih dari 200 korban dari 24 negara yang ditanganinya. Sepuluh tahun kemudian, Ima menjadi anggota Dewan Penasihat Gedung Putih (Advisory Council of Human Trafficking United States of America). Di Dewan Penasihat itu, ia menangani dua dari lima bidang: anggaran dan kewaspadaan.
Pada jabatan itu, Ima memberikan saran-saran kepada departemen pemerintahan tentang upaya penanganan perdagangan manusia. Berkat posisinya, Ima sering bertemu dengan Presiden AS Barack Obama. Ia sering ikut advokasi bersama pemerintah.
Menurut Ima, meski sudah menjadi negara maju, AS ternyata juga tidak lepas dari kasus perdagangan manusia dan perbudakan. Korbannya umumnya adalah remaja yang tidak punya orangtua dan mereka yang telantar. Mereka umumnya dijual sebagai pekerja seks, pekerja restoran, hotel, hingga buruh tani.
Kiprah Ima sebagai aktivis anti perdagangan manusia semakin lama semakin diakui. Berkat pengakuan itulah, bersama sejumlah senator, Ima bisa berbicara di panggung utama Stadion Wells Fargo, Philadelphia, Pennsylvania, Juli 2016. Ima berorasi di depan puluhan ribu pendukung bakal calon presiden/wapres dari Partai Demokrat AS, Hillary Clinton-Tim Kaine. Acara itu disiarkan ke seluruh dunia.
Meski singkat, Ima sempat berpidato di ajang bergengsi itu karena diundang oleh Komite Nasional Partai Demokrat. Kebetulan perwakilan komite mengenal Ima dan pernah bekerja bersama Hillary. Sungguh tak terbayangkan, Ima yang besar di desa di Kabupaten Malang, Jawa Timur, bisa jadi pembicara di acara Partai Demokrat AS.
Aktivitas Ima untuk melawan perdagangan manusia pun akhirnya sampai juga ke Indonesia. Bersama Shandra Woworuntu dan Randall Roca, Ima mendirikan Yayasan Mentari, untuk membantu warga Indonesia yang menjadi korban perdagangan manusia.
Meski awalnya ditujukan untuk membantu warga Indonesia, banyak warga negara lain yang meminta advokasi ke Yayasan Mentari. Pada Desember 2016, yayasan itu menangani sekitar 100 korban perdagangan manusia dari 17 negara.
Saat ini Ima tetap dengan gigih berjuang untuk melawan mafia dan penjahat perdagangan manusia. Ima sudah berganti kewarganegaraan dari Indonesia menjadi AS, untuk mempermudah perjalanan lintas negara saat dirinya bertugas. Meski demikian, Ima mengaku tak pernah melupakan Indonesia, tanah air dan tempat kelahirannya. ***
Artikel ini ditulis oleh: