Jakarta, Aktual.com – Rangkaian perjanjian perdagangan bebas regional semakin membuka lebar-lebar pintu impor. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, nilai impor nonmigas pada Maret 2017 naik signifikan 24,94 persen menjadi USD11,10 miliar dibanding bulan sebelumnya USD8,88 miliar. Penyumbang kenaikannya berasal dari impor ponsel, plastik sampai kapal laut. Nilai impor USD13,36 miliar di Maret merupakan nilai impor bulanan tertinggi sejak Januari 2015.
Namun, Kementerian Perdagangan yang menyebut kenaikan impor ini positif lantaran disokong kenaikan impor bahan baku dinilai kurang pas. Pasalnya, impor bahan baku, bahan penolong masih secuil. Barang konsumsi tetap mendominasi. Terutama dari Tiongkok dengan kontribusi lebih dari 25 persen dari total impor.
“Ini sinyal tanda bahaya. kenaikan impor, terutama barang konsumsi menjadi tanda turunnya daya saing produk dalam negeri,” ujar Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Enny Sri Hartati di Jakarta, Rabu (26/4).
Menurutnya, kondisi berbahaya ini lantaran kinerja industri dalam negeri belum recovery. Di sisi lain, dalih pemerintah yang menyebut bahwa impor naik juga lantaran persiapan menyambut ramadan dan lebaran, juga tidak tepat karena barang yang masuk tidak berkorelasi dengan kebutuhan untuk menjaga stabilitas harga terutama sektor pangan selama lebaran dan ramadan yang selama ini jadi fokus pemerintah.
“Oke untuk antisipasi lebaran, pertanyaannya nanti bagaimana stabilitas harga apakah signifikan tidak. Menjelang ramadan itu untuk stabilitas harga pandan, dan impornya bukan dari Tiongkok, tapi dari Thailand, atau Vietnam. Sementara ini mayoritas dari Tiongkok, jangan-jangan salah kebijakan lagi,” sindir Enny.
Kenaikan importasi dari Tiongkok, kata Enny, sangat luar biasa, porsi dari tiongkok 25 persen sendiri, sementara total dari ASEAN saja 20 persen. Enny juga menyoroti kenaikan signifikan mencapai 343 persen lebih untuk kategori kapal laut dan bangunan terapung. Kenaikan ini tentu saja memunculkan tanda tanya besar karena diduga kenaikan fantastis itu berkaitan dengan impor kapal bekas. Padahal, kenaikan impor kapal jelas memukul industri galangan kapal nasional.
“Per definisi, bangunan terapung itu juga tidak jelas, apa yang dimaksud bangunan terapung. Kita curiga lonjakan impor drastis itu berkaitan impor kapal bekas, ini kan aneh, padahal pemerintah mendorong industri galangan kapal,” tegas Enny.
Kata Enny, dengan fakta itu, sejatinya kenaikan impor bukan berita bagus. Kalau pun ada kenaikan impor seperti peralatan mesin, peralatan listrik, hingga besi dan baja, memang bisa dikaitkan dengan menggeliatnya infrastruktur. Tetapi, tetap saja, kenaikan impor itu dinikmati oleh negara lain karena menggerogoti devisa.
Ujungnya juga menghantam industri dalam negeri nasional. Yang menikmati bukan perekonomian domestik. Sementara dampak infrastruktur juga belum ketahuan seperti apa lantaran yang dibangun jalan tol bukan jalur kereta api.
Sekali lagi, Enny menegaskan, dari sisi struktur kenaikan impor yang luar biasa, sejatinya lebih condong ke konsumsi bukan kebutuhan mendorong sektor manufaktur nasional. Soal permintaan tarif bea masuk nol persen untuk komponen kapal demi meningkatkan daya saing, boleh saja diberikan asal selektif dan jangan sampai kontraproduktif dengan mengimpor kapal bekas.
“Misal pelabuhan kita akan disinggahi kapal besar, boleh saja dihubungkan dengan biaya logistik, tapi orang sering lupa, yang turun itu bukan biaya antar pulau namun barang impornya yang makin murah, kompetitif. Tidak ada yang bisa dibanggakan,” pungkasnya.
Artikel ini ditulis oleh:
Eka