PHK dan Pengangguran (Aktual/Ilst.Nelson)
PHK dan Pengangguran (Aktual/Ilst.Nelson)

Jakarta, Aktual.com —  Badan Pusat Statistik (BPS) beberapa waktu lalu melansir bahwa rokok merupakan penyumbang terbesar angka kemiskinan di Indonesia lantaran sebagian masyarakat Indonesia memiliki kebiasaan kuat untuk membeli rokok.

Wakil Presiden Jusuf Kalla pun menilai, angka kemiskinan naik dan perusahaan rokok untung besar sehingga disebut termasuk kategori lampu merah sehingga perlu dibatasi peredaran rokok.

Ekonom INDEF, Enny Sri Hartati menilai pernyataan tersebut bisa menjadi ‘misleading’ karena seakan-akan menjadikan rokok faktor tunggal penyebab kemiskinan. Padahal, faktor penyebab utama dari naiknya angka kemiskinan lebih karena ketidakmampuan pemerintah menyediakan lapangan pekerjaan formal dan juga banyaknya pemutusan hubungan kerja (PHK) yang terjadi dalam beberapa bulan terakhir.

Menurut Enny, Struktur pendapatan masyarakat penghasilan menengah ke bawah, miskin ke rentan miskin, memang tujuh puluh persen untuk konsumsi makanan dan non makanan mencapai 30 persen.

Artinya, ketika porsi terbesar makanan terjadi kenaikan harga, kemudian katakanlah 10 persen digunakan untuk membeli rokok, maka memang bobot pengeluaran kelompok itu jadi tinggi. Namun, itu hanya persentase dan tidak jadi faktor tunggal.

“Jadi rokok bukan penyebab kemiskinan, bahwa terjadi kenaikan persentasi pengeluaran sehingga terkesan seolah olah harga rokok tinggi menjadi penyebab kemiskinan. Namun analisa BPS tersebut tidak lengkap,” ujar Enny, saat berbincang dengan wartawan, Kamis (7/1).

Enny yang juga Direktur Eksekutif Institute National Development and Financial (Indef) mengemukakan bahwa, secara umum, masih tingginya persentase kemiskinan itu lebih karena adanya kenaikan harga-harga kebutuhan pokok yang memang belum bisa dikendalikan oleh pemerintah sehingga mereka yang berada di kelompok rentan miskin bisa dengan mudah masuk ke kategori miskin.

“Ketika tidak ada kebijakan yang bisa mengerek pendapatan masyarakat untuk naik, maka tentu saja makin tidak memadai untuk memenuhi kebutuhan minimal. Jadi ketika pendapatan tidak naik, kemudian dibareng kenaikan harga pokok, dan terjadi penyempitan lapangan pekerjaan formal, ini tentu saja akan mendorong kelompok rentan miskin masuk ke kemiskinan, jadi tidak ada faktor tunggal misal disebabkan rokok semata, jika seperti itu analisanya tidak lengkap dan jadi misleading,” tegasnya.

Untuk itu, ketimbang menyalahkan salah satu pihak dimana ujungnya industri dirugikan, akan lebih baik pemerintah fokus menciptakan lapangan pekerjaan di sektor formal. Selama tidak ada ketersediaan lapangan kerja yang memadai, ya pasti akan berdampak ke meningkatnya angka kemiskinan.

‎Adapun soal pernyataan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang mengatakan bahwa ketika industri rokok tetap tumbuh dan justru itu sinyal lampu merah, Enny menilai bahwa tidak bisa salah satu faktor disalahkan terus menerus karena semua saling berkorelasi. Ketika industri tembakau tumbuh, kontribusi ekonomi ke negara melalui cukai dan pajak juga tinggi.

Jika kemudian akibat cukai kenaikan cukai harga rokok menjadi tinggi, itu faktor alamiah. Sementara dari sisi konsumen juga akan ada penyesuaian konsumsi setelah harga rokok naik.

“Ada variabel saling berkaitan, misalnya cukai rokok juga tidak hanya penerimaan negara saja tapi mengakomodasi kesehatan. Memang banyak multi target tapi tidak bisa menyalahkan satu kebijakan,” tegasnya.

Sementara, Pengamat Intelijen Susaningtyas Nefo Handayani Kertopati mengingatkan, dalam setiap pembahasan dengan tembakau, tidak bisa berdiri sendiri atau mengedepankan kepentingan lembaga sendiri karena menyangkut hajat hidup orang banyak.

“Ketika bicara mengenai industri rokok maka harus melihat secara holistik dan multi aspek. Dalam industri ada entitas yang terdiri dari buruh/pegawainya, sebagai suatu hal yang tak dapat kita abaikan,” kata Nuning.

Ia mengingatkan, bila dilakukan pengetatan regulasi secara berlebihan, hingga berujung penutupan atas industri rokok maka akan bertambah jumlah pengangguran eks buruh/pegawai Rokok sehingga berpotensi menimbulkan kerawanan.

“Hal ini tentu dapat memicu kerawanan sosial, sangat mudah menjadi obyek proxy. Kemarahan massa mudah disulut sehingga mengganggu keamanan bahkan pertahanan negara,” ujar Nuning.

Artikel ini ditulis oleh:

Eka