Jakarta, Aktual.com —Cukup mengejutkan. Banyak analis dan pemerhati industri keuangan global menyatakan bahwa krisis keuangan global akan terjadi pada bulan September 2015. Jauh lebih dahsyat daripada tahun krisis 2008 lalu.
Apa dasar prediksi mereka? Mereka melihat dalam waktu dekat, krisis di industri keuangan Uni Eropa, AS dan Tiongkok akan meledak. Di Eropa, picunya adalah krisis keuangan (debt crisis) di Yunani. Jika krisis utang (debt crisis) Yunani tak terselesaikan maka krisis ini akan merembet ke negara-negara anggota Uni Eropa lainnya. Dalam kacamata geopolitik, krisis hutang Yunani bisa menghancurkan mata uang Euro. Akibatnya, besar kemungkinan, beberapa negara bisa keluar dari keanggotaan Uni Eropa.
Di AS, Ron Paul (mantan kandidat Presiden AS dari partai Republik) mengatakan kepada CNBC beberapa saat lalu bahwa kebijakan ‘easy money’ yang dikeluarkan FED membuat pasar saham di AS menuju jurang kehancuran. Menurut Ron, financial bubble yang terjadi saat ini adalah penyebab utamanya. Financial bubble ini juga yang menyebabkan krisis keuangan global pada tahun 2008 lalu.
Chairman and Chief Executive Officer JPMorgan Chase Jamie Dimon dalam surat kepada shareholder-nya (shareholder letter) pada 8 April 2015 lalu secara eksplisit menyatakan hal serupa. Dia menulis seperti ini: “Some things never change — there will be another crisis, and its impact will be felt by the financial market”.
Kemudian dia menjelaskan beberapa akar permasalahan dari krisis-krisis yang pernah terjadi sebelumnya. ‘The trigger to the next crisis will not be the same as the trigger to the last one – but there will be another crisis. Triggering events could be geopolitical (the 1973 Middle East crisis), a recession where the Fed rapidly increases interest rates (the 1980-1982 recession), a commodities price collapse (oil in the late 1980s), the commercial real estate crisis (in the early 1990s), the Asian crisis (in 1997), so-called “bubbles” (the 2000 Internet bubble and the 2008 mortgage/housing bubble), etc. While the past crises had different roots (you could spend a lot of time arguing the degree to which geopolitical, economic or purely financial factors caused each crisis), they generally had a strong effect across the financial markets,” tambahnya.
Meski tidak menyebutkan secara khusus soal krisis utang Yunani, setidaknya analis dan pemain di pasar modal mahfum ketika dia menyentil soal krisis di Yunani dalam surat itu: “Regarding the Eurozone, we must be prepared for a potential exit by Greece”.
Apa yang sebenarnya terjadi di Yunani?
Yang perlu dipahami oleh kita untuk menjawab pertanyaan itu adalah: Mengapa krisis Yunani tetap berlanjut (bahkan lebih dalam lagi) meski bailout miliaran Dollar untuk menstabilisasi perekonomian (termasuk industri keuangan) Yunani sudah dilakukan sejak beberapa tahun lalu?
Jawabannya sederhana, ternyata sebagian besar dana bailout itu (yang katanya untuk membantu merestrukturisasi dan memperbaiki perekonomian Yunani) digunakan untuk membayar utang-utang luar negeri Yunani. Bukan untuk mendorong pertumbuhan di sektor riil.
Layak kalau Perdana Menteri Yunani Alexis Tsipras mengatakan bahwa beberapa kebijakan restrukturisasi yang “dipaksakan” oleh IMF sudah menyebabkan humanitarian crisis di Yunani.
Bagaimana tidak, menurut Tsipras, lembaga-lembaga kreditur terus menekannya untuk segera memotong pembayaran uang pensiun sebagian besar rakyat Yunani untuk membayar utang-utang luar negerinya. Ini sudah sangat keterlaluan. “We are shouldering the dignity of our people, as well as the hopes of the people of Europe… We cannot ignore this responsibility. This is not a matter of ideological stubbornness. This is about democracy,” katanya ketika menjelaskan alasannya untuk menolak pemotongan uang pensiun rakyatnya.
Cukup sederhana sebenarnya alasan Tsipras itu, bahwa rakyatnya jangan jadi korban akibat dipaksa untuk ikut menalangi seluruh utang-utang Yunani.
Pertanyaan berikutnya adalah mengapa Tsipras cukup berani kali ini untuk melawan tekanan itu?
Ternyata bulan Juni lalu Tsipras telah menandatangani sebuah perjanjian penting dengan Russia. Yunani sepakat untuk membangun terminal pipa gas (jaringan pipa TurkStream) milik Russia di Eropa. Kesepakatan penting ini sangat penting bagi Russia untuk mengalihkan pembangunan pipa gas Russia ke Eropa yang dulu direncanakan melewati Ukraina. Semua mahfum bahwa AS dan Nato mengganjal rencana pembangunan pipa tersebut dengan mendestabilisasi Ukraina.
Bagi Yunani, mungkin Russia tidak bisa memberi bantuan finansial yang cukup signifikan untuk kekuar dari krisis. Namun, hal penting dari kerjasama ini adalah aspek ketahanan energi Yunani akibat krisis yang berkepanjangan bisa terkendali.
Yang menarik justru tawaran dari China buat Yunani untuk keluar dari krisis. Beberapa saat lalu Direktur The Quantitative Finance Department di China’s Institute of Quantitative and Technical Economics, Fan Mingtao dalam sebuah pernyataannya di sputniknews.com mengatakan seperti ini, “The Greek crisis has an undoubtedly seriously influence on China’s trade with Greece and investment into the country. But I think that European countries together with China can help Greece overcome the problems that arose,” katanya.
Kemudian dia menambahkan “I believe there are two ways to give Greece Chinese aid. First, within the framework of the international aid through EU countries. Second, China could aid Greece directly. Especially considering the Silk Road Economic Belt and the Asian Infrastructure Investment Bank. China has this ability,” tegasnya.
Tiongkok sebenarnya ingin menyatakan bahwa Tiongkok punya kekuatan untuk membantu secara finansial Yunani dalam kerangka besar strategi geopolitik Silk Road Economic Belt dan memperkuat kedudukan Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB) disamping World Bank dan IMF.
Entah, apakah dua hal tersebut (faktor Russia dan China) akan menjadi pegangan Tsipras untuk lepas dari tekanan AS, IMF dan Bank Sentral Uni Eropa. Namun satu hal yang jangan pernah dilupakan bahwa Tsipras tidak ingin perusahaan finansial global yang ada dibalik krisis Yunani ini mengatur negaranya.
Bahkan dengan percaya diri dia mengatakan bahwa Yunani kini sedang melangkah ke masa depan baru. Referendum yang dia putuskan untuk memutuskan apakah menolak atau mengikuti kemauan kreditur sebagai ‘Celebration of Democracy’. “Not only will we remain in Europe, but we will live with dignity to prosper, to work as equals among equals”, tegas Tsipras.
Pertanyaan berikutnya, apakah bantuan China dan Russia tersebut mampu membuat Yunani keluar dari krisis?
Jawabannya belum tentu. Harus diingat, kalaupun hasil referendum menyatakan menolak proposal kreditur toh hal ini mengakibatkan mata uang Euro tetap akan jatuh. Dan ini akan membuat efek domino yang mempercepat krisis keuangan global. Seperti yang terjadi pada 2008 lalu.
Namun, yang perlu diingat, dan ini adalah fakta yang mencengangkan. Ada sekitar 1400-an bank yang ada di dunia ini secara perlahan bangkrut pascakrisis keuangan global tahun 2008 lalu. Ada juga yang bertahan setelah memilih merger. Tapi krisis tersebut adalah surga bagi 6 bank besar di Amerika Serikat. Jadi, yang paling diuntungkan dari krisis keuangan global 2008 saat itu adalah bank dan lembaga keuangan besar.
Laporan LA Times September 2013 lalu menyatakan seperti ini: “Just before the financial crisis hit (krisis keuangan tahun 2008.red), Wells Fargo & Co. had $609 billion in assets. Now it has $1.4 trillion. Bank of America Corp. had $1.7 trillion in assets. That’s up to $2.1 trillion. And the assets of JPMorgan Chase & Co., the nation’s biggest bank, have ballooned to $2.4 trillion from $1.8 trillion”. Itu belum catatan bank besar lainnya.
Hal yang sama juga bisa terjadi jika krisis keuangan global terjadi pada 2015 ini. Bank-bank besar di AS itu mungkin bisa bertambah besar lagi. Asetnya bertambah, bahkan profitnya bertambah. Yang besar makin besar, yang kaya makin kaya.
Lalu, apa konsekuensi geopolitiknya?
Sederhana, dengan bertambahnya aset dan jumlah uang yang sangat banyak itu, bank dan lembaga keuangan tersebut akan bisa mengontrol apapun. Bahkan mengontrol sebuah negara, seperti Yunani. Bahkan Indonesia.
Dengan menggunakan tangan IMF, World Bank, AIIB, NIB atau lembaga-lembaga donor lain mereka akan bisa “memaksa” kehendaknya. Suka atau tidak suka.
Ini seyogyanya yang menjadi ‘catatan lain’ buat pemerintahan Jokowi untuk membuat kebijakan untuk mengantisipasi kemungkinan krisis keuangan global yang konon katanya akan dimulai pada September 2015 ini.
Jangan sampai Indonesia terjebak seperti Yunani yang dipaksa untuk memotong dana pensiun buat rakyatnya. Atau (kalau di Indonesia) pemerintah akan memotong uang Jaminan Hari Tua (JHT) rakyatnya untuk meredam krisis misalnya.
Mudah-mudahan ini tidak terjadi…