# Utang Negara
Lembaga Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menjelaskan bahwa Pada 2017 utang luar negeri pemerintah sebesar US$177.318,21 juta, sementara utang luar negeri swasta sebesar US$171.624.9 juta. Swasta sudah mulai mengerem utang dari luar negeri. Pada tahun 2015 utang luar negeri swasta hanya tumbuh 2,77 persen, padahal 2014 masih tumbuh 14,75 persen. Sedangkan utang Pemerintah bergantung pada SBN dengan persentase kepemilikan asing yang tinggi. Pasalnya, SBN yang dimiliki asing mendominasi sejak 2014 dan terus berlanjut hingga Juni-2017 yang mencapai 39,5 persen dari total SBN. Hal ini perlu diwaspadai karena rentan jika terjadi capital outflow akan sangat berisiko bagi stabilitas perekonomian.
Terkait utang yang terus bertambah sedangkan keuangan Pemerintah justru semakin tekor, ada dua indikator utang yang biasanya dipakai yaitu rasio keseimbangan primer terhadap PDB dan rasio utang terhadap PDB. Rasio keseimbangan primer terhadap PDB pada APBN 2017 sebesar minus 1,31 persen. Sedangkan rasio utang terhadap PDB tahun 2017 sebesar 2,89 persen memang masih dalam batas wajar. Namun secara keseluruhan, rasio utang pemerintah dalam keadaan waspada. Hal ini menunjukkan cash flow pemerintah justru semakin tekor ketika menambah utang. Akibatnya, untuk membayar bunga dan cicilan utang harus ditopang oleh utang baru.
Peneliti, INDEF Riza Annisa Pujarama mengungkapkan bahwa utang sebesar Rp4.772 triliun itu baru utang pemerintah, jika digabungkan dengan utang pihak swasta yang teridiri dari korporasi swasta/BUMN telah melebihi Rp7.000 triliun.
“Kementerian Keuangan dalam APBN 2018 menyatakan total utang pemerintah mencapai Rp4.772 triliun. Sementara, utang swasta tahun 2017 telah mencapai sekitar Rp2.389 triliun,” kata peneliti, INDEF Riza Annisa Pujarama.
Selain itu, dengan perhitungan PDB harga berlaku, output ekonomi Indonesia dalam tiga tahun terakhir (2015-2017) meningkat dari Rp11.526,33 triliun (2015) ke Rp12.406,77 triliun (2016), dan Rp13.588,80 triliun (2017), atau rata-rata naik 8,74 persen per tahun. Sementara itu, total utang Pemerintah pada periode yang sama sebesar Rp3.165,13 triliun [USD229,44 miliar] (2015) ke Rp3.515,46 [USD261,64 miliar] (2016), dan Rp3.938,45 triliun [USD290,7 miliar] (2017), atau rata-rata naik 14,81 persen (dengan denominasi Rupiah) atau 11,52 persen (dengan denominasi USD). Laju penambahan utang yang lebih kencang dari laju peningkatan output perekonomian ini akan semakin menggerogoti stabilitas perekonomian ke depan jika tidak segera dikendalikan.
Utang, jika digunakan untuk kegiatan produktif seharusnya dapat mempercepat peningkatan output nasional dan pada akhirnya akan mengurangi ketergantungan terhadap produk atau sumber daya impor. Namun nyatanya impor meningkat dan tidak mampu dikompensasi oleh peningkatan ekspor.
Sepanjang awal 2018, impor Indonesia meningkat 26,58 persen (y-o-y), sementara ekspor hanya meningkat 10,13 persen (y-o-y). Hal ini menyebabkan terjadinya deficit neraca perdagangan. Peningkatan impor yang besar ini juga disebabkan oleh maraknya impor barang konsumsi yang tumbuh “menggila” hingga mencapai 44,30 persen (y-o-y). Lemahnya pengendalian impor (Non-Tariff Measures) pasca penerapan FTA menjadi penyebab tingginya impor tersebut.
Selanjutnya, # Lebih Bahaya Dari Utang Orba
Artikel ini ditulis oleh:
Eka