# Lebih Bahaya Dari Utang Orba
Bila utang di zaman pemerintahan Orde Baru (Orba) dengan pinjaman bilateral maupun multilateral, namun utang pemerintah saat ini kebanyakan dalam bentuk obligasi yang sulit dapat dikendalikan. Terlebih, kata ekonom senior, Faisal Basri, lebih dari 50 persen obligasi pemerintah tersebut dipegang oleh asing. Kondisi ini sangat rentan akan pengaruh gejolak pasar.
“Defisit APBN jaman orde baru ditutup utang luar negeri, baik bilateral maupun multilateral. Jadi pinjamannya dari ADB, Bank Dunia, dengan pemerintah Jepang, pemerintah Amerika Serikat, macam-macam. Jadi utangnya terukur, bayarannya kapan, cicilannya berapa, bungnya berapa, bunganya murah sekali, macam-macam gitu. Sekarang sebagian besar utang pemerintah itu dalam bentuk obligasi dan 50 persen obligasi pemerintah itu dipegang oleh asing. Obligasi itu sewaktu-waktu bisa dijual oleh asing, tidak seperti utang bilateral dan multilateral,” kata Faisal.
Faisal mencontokan; jika seumpama asing sebagai pemegang obligasi melihat perkembangan investasi di negara lain lebih menarik, kemudian secara besar-besaran melepas obligasi Indonesia. maka pemerintah tidak mampu untuk menghentikan transaksi yang berimbas buruk pada ekonomi nasional.
“Lalu pemerintah Indonesia akan bilang, BI bilang ‘ini sepenuhnya gara-gara faktor global’ lah virus diluar itu memang sangat banyak, tergantung daya tahan tubuh kita, nah ini yang penting bagaimana pemerintah jangan membuat peluang daya tahan pemerintah menjadi rapuh dan goyang. Karena itu tadi, kedaulatan semakin dipegang oleh pihak luar. Kita tidak bisa mengendalikan orang jual beli obligasi,” ujar dia.
Lalu dari aspek kemampuan bayar dengan utang menembus Rp4.000 triliun, menurut Faisal memang dengan APBN yang ada, pemerintah masih mampu membayar cicilan dan bunga, hanya saja imbasnya mengurangi pos anggaran yang lainnya.
“Betul pemerintah masih punya kemampuan keleluasaan yang cukup besar untuk bayar cicilan dan bunga tapi makin membebani. Indonesia memang date to GDP rationya masih 30 persen. Beda sama Jepang yang sudah 200 persen, tapi beban bunga utang di Jepang jauh lebih rendah dari kita persentase dari anggaran. Begitupun AS utang hampir 100 persen tapi beban utangnya jauh lebih rendah dari kita,” pungkas dia.
Menarik artikel Mantan Menteri Ekonomi, Fuad Bawazier mengupas lebih jauh mengenai utang pemerintah Jepang yang selalu menjadi bahan pembanding oleh Sri Mulyani. Fuad mengakui memang dengan utang pemerintah sekitar Rp4.000 triliun, posisinya sekitar 29,5 persen dari PDB. Artinya memang masih jauh dibawah ketentuan Undang-undang Keuangan Negara yang batas maksimalnya 60 persen PDB.
Tentu angka ini juga sangat jauh dari Jepang yang berada 200 persen terhadap PDB, tetapi yang perlu menjadi catatan bahwa utang pemerintah Jepang kepada rakyatnya sendiri dan kepada Bank Sentral Jepang dengan ratio masing-masing sekitar 50 persen. Selain itu utangnya dalam mata uangnya sendiri yaitu Yen dengan bunga sangat rendah hanya sedikit diatas 1 persen. Bandingkan dengan bunga utang Indonesia yang tertinggi di Asia dan bahkan sebagiannya masih 2 (dua) digit. Lalu kredit rating jepang A+ alias sangat secure sementara rating Indonesia BBB.
“Meskipun utang Jepang tinggi tetapi dari kaca mata riil ekonomi Jepang mempunyai net international investment positions USD 2.8Triliun yang berarti memiliki net external assets positif alias bangsa kreditor Kenyataat kekuatan Jepang tersebut berbeda dengan Indonesia yang net international investment positionnya negatif lebih dari USD 400Miliar alias mempunyai net external liabilities atau benar-benar negara dengan neraca sebagai negara debitor,” ujar dia.
Bukan hanya itu, Pemerintah tidak membandingkan tax ratio Jepang yang 31 persen PDB dengan tax ratio Indonesia kurang dari 11 persen. Bahkan Pemerintah juga tidak membandingkan dengan ratio APBN terhadap PDB di Indonesia yang amat rendah dengan ratio yang sama dari negara Jepang.
Begitu pula dengan debt service ratio di Indonesia sebesar 40 persen atau tertinggi di Asia Tenggara, sementara batas yang dianggap aman maksimal 25 persen. Sementara itu sekitar 41 persen utang negara dalam valuta asing. Dengan average time to maturity 9 (Sembilan) tahun dan yang bertenor (jatuh tempo) 5 (lima) tahun sebesar 40 persennya, akan menjadi beban berat APBN dalam 5 (lima) tahun ke depan.
Sejumlah kekhawatiran lannya adalah membengkaknya utang pemerintah karena kurs rupiah yang cenderung melemah sehingga diperlukan uang dari pendapatan pajak yang lebih banyak lagi untuk pembayaran utang dalam valas. Sementra valas juga mengalami keterbatasan untuk membayar utang dalam mata uang asing.
Selanjutnya, # Data Bank Indonesia
Artikel ini ditulis oleh:
Eka