# Menkeu Sri Mulyani Merespon
Menyikapi kecemasan publik atas tanggungan utang pemerintah yang telah menembus Rp4.000 triliun ini, Menteri Keuangan, Sri Mulyani merasa ada pihak yang sengaja menghasut dan memprovokasi masyrakat dengan tujuan politik untuk ‘membusukkan’ kinerja pemerintahan Jokowi. Harusnya imbuh Sri, persoalan melonjaknya jumlah utang pemerintah mesti dilihat secara komprehensif, sehingga kritikan kepada pemerintah lebih bisa diterima karena dianggap objektif.

“Jadi bagi mereka yang mau memprovokasi, membuat hoax-hoax atau menghasut, mereka akan katakan; lihat utangnya naik. Dia hanya lihat satu sisi saja, dia tidak melihat seluruh ekonominya, belum dia melihat seluruh APBNnya. Mereka sengaja itu. Orang yang bikin ini sangat tahu betul, dia tahu tentang APBN, tapi dia melihat ekonomi APBN dilihat dari sisi utang saja, supaya kelihatan jelek Presiden Jokowi, pemerintahannya dan Menteri Keuangannya,” ujar Sri Mulyani.

Dalam konteks seluruh kebijakan ekonomi dan keuangan negara, utang adalah salah satu instrumen kebijakan dalam pengelolaan keuangan negara dan perekonomian. Utang bukan merupakan tujuan dan bukan pula satu-satunya instrumen kebijakan dalam mengelola perekonomian. Banyak komponen lain selain utang yang harus juga diperhatikan, misalnya sisi aset yang merupakan akumulasi hasil dari hasil belanja Pemerintah pada masa-masa sebelumnya. Nilai aset tahun 2016 (audit BPK) adalah sebesar Rp5.456,88 triliun.

Nilai ini masih belum termasuk nilai hasil revaluasi yang saat ini masih dalam proses pelaksanaan untuk menunjukkan nilai aktual dari berbagai aset negara mulai dari tanah, gedung, jalan, jembatan, sekolah, rumah sakit dan lainnya. Hasil revaluasi aset tahun 2017 terhadap sekitar 40 persen aset negara menunjukkan bahwa nilai aktual aset negara telah meningkat sangat signifikan sebesar 239 persen dari Rp781 triliun menjadi Rp2.648 triliun, atau kenaikan sebesar Rp1.867 triliun. Tentu nilai ini masih akan diaudit oleh BPK untuk tahun laporan 2017. Kenaikan kekayaan negara tersebut harus dilihat sebagai pelengkap dalam melihat masalah utang, karena kekayaan negara merupakan pemupukan aset setiap tahun termasuk yang berasal dari utang.

Lagi pula lanjutnya, hampir tidak ada negara di dunia saat ini yang terlepas dari utang dalam rangka pembangunan, sehingga tidak perlu panik dan ditakuti atau bahkan tidak perlu alergi dengan utang. Hanya saja yang perlu dilakukan adalah kedisiplinan dalam mengelola fiskal.

“Sebetulnya kalau kita mau membandingkan secara nominal, negara yang utangnya paling tinggi itu Jepang secara per kapitanya, nominalnya. Atau bahkan Amerika Serikat yang disebut negara adidaya, itu adalah negara yang memiliki utang yang besar. Apakah Indonesia menuju arah ke sana? Tidak. Karena undang-undang kita sudah jelas, yang disebut kita tidak boleh ngutang lebih dari 60 persen dari GDP/Produk Domestik Bruto kita,” ujar dia.

Adapun bila diukur dari jumlah nominal dan rasio terhadap PDB, Sri Mulyani mengkalim bahwa defisit APBN dan posisi utang Pemerintah terus dikendalikan (jauh) di bawah ketentuan Undang-Undang Keuangan Negara. Defisit APBN tahun 2016 yang sempat dikhawatirkan akan melebihi 3 persen PDB, dikendalikan dengan pemotongan belanja secara drastis hingga mencapai Rp167 triliun. Walaupun tindakan itu menyebabkan sedikit perlambatan pertumbuhan ekonomi. Demikian juga tahun 2017, defisit APBN yang diperkirakan mencapai 2.92 persen PDB, berhasil diturunkan menjadi sekitar 2.5 persen. Tahun 2018 ini target defisit Pemerintah kembali menurun menjadi 2.19 persen PDB.

Kemudian dijelaskan keseimbangan primer tahun 2015 mencapai defisit Rp142,5 triliun, menurun pada tahun 2016 menjadi Rp125,6 triliun, dan kembali menurun pada tahun 2017 sebesar Rp121,5 triliun. Untuk tahun 2018, Pemerintah menargetkan keseimbangan primer menurun lagi menjadi Rp87,3 triliun.

Selain itu, kebijakan utang juga ditujukan untuk membangun pendalaman pasar keuangan dan obligasi di dalam negeri. Sehingga diupayakan utang tidak hanya sebagai alat menambal defisit belanja Pemerintah, namun juga sebagai alternatif instrumen investasi bagi masyarakat Indonesia. Tercatat jumlah investor ritel yang membeli Surat Berharga Negara (SBN) meningkat setiap tahun sejak diterbitkannya SBN ritel tahun 2006, yaitu sebesar 16.561 investor ritel dalam negeri, dan mencapai 83.662 investor ritel pada 2016. Secara jumlah total pada 2018, investor ritel pemegang SBN telah mencapai 501.713.

“Kita masih perlu mengembangkan terus pendalaman pasar dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembelian obligasi negara maupun korporasi. Pasar keuangan yang dalam dan tebal akan menjadi salah satu pilar menjaga stabilitas ekonomi Indonesia. Ini juga untuk menjawab mereka yang merasa khawatir dengan proporsi asing dalam pembelian obligasi (SBN) kita,” jelas Sri Mulyani.

Sri Mulyani mengungkapkan perbandingan jumlah nominal utang dengan belanja modal atau bahkan dengan belanja infrastruktur kurang memahami dua hal. Pertama, belanja modal tidak seluruhnya berada di Kementerian/Lembaga Pemerintah Pusat, namun juga dilakukan oleh Pemerintah Daerah. Dana transfer ke daerah yang meningkat sangat besar, dari Rp573,7 triliun pada 2015 menjadi Rp766,2 triliun pada 2018, sebagian yaitu sebesar 25 persen diharuskan merupakan belanja modal, meski belum semua Pemerintah Daerah mematuhinya. Kedua, dalam kategori belanja infrastruktur, tidak seluruhnya merupakan belanja modal, karena untuk dapat membangun infrastruktur diperlukan institusi dan perencanaan yang dalam kategori belanja adalah masuk dalam belanja barang.

“Pernyataaan ‘tambahan utang tidak produktif karena tidak diikuti jumlah belanja modal yang sama besarnya’ adalah kesimpulan yang salah. Kualitas institusi yang baik, efisien, dan bersih adalah jenis “soft infrastructure” yang sangat penting bagi kemajuan suatu perekonomian. Belanja institusi ini dimasukkan dalam kategori belanja barang dalam APBN kita,” jelasnya.

Pengelolaan APBN yang hati-hati dan baik, lanjutnya, menghasilkan perbaikan dalam bentuk menurunnya imbal hasil (yield) Surat Utang Negara berjangka 10 tahun dari 7,93 persen pada Desember 2016, menurun menjadi 6,63 persen pada pertengahan Maret 2018. Ini prestasi yang tidak mudah, karena pada saat yang sama justru Federal Reserve Amerika melakukan kenaikan suku bunga pada akhir Desember 2016, dan dilanjutkan dengan kenaikan suku bunga tiga kali pada tahun 2017.

Selanjutnya, Pantaskah?

Artikel ini ditulis oleh:

Eka