Jika masih tidak dicapai kesepakan mengenai bentuk atau besaran kompensasi, kata dia, maka Selandia Baru dan AS dapat meminta kepada DSB WTO untuk mengajukan retaliasi atau tindakan balasan terhadap Indonesia.
“Tentunya kekalahan Indonesia dalam kasus ini akan membawa dampak besar terhadap kebijakan pangan di Indonesia. Penyesuaian kebijakan pangan Indonesia dengan aturan GATT 1994 akan bertentangan dengan semangat kedaulatan pangan dan merampas kesejahteraan petani,” tandas Rachmi.
Ketua Departemen Luar Negeri SPI, Zainal Arifin Fuad, menyatakan bahwa petani di Indonesia sudah berada di garis kemiskinan, dengan salah satu indikator Nilai Tukar Petani (NTP) yang rendah.
“Bila masih menjadi anggota WTO, petani berpeluang akan semakin miskin, karena dipastikan hasil pertanian dalam negeri dibanjiri produk impor terkhusus dari kedua negara itu yang merupakan negara-negara penggugatan ke WTO,” kata dia.
Penolakan jelas mengganggu kedaulatan bangsa yang terrefleksi dalam UU No. 18/2012 tentang Pangan sebagai niat baik pemerintah untuk mewujudkan kedaulatan pangan. “Maka Sudah waktunya Indonesia berani keluar dari WTO, terlebih setelah gugatan banding Indonesia di tolak,” tandas Zainal.
(Reporter: Busthomi)
Artikel ini ditulis oleh:
Eka