Di Bali, ia melanjutkan, ada banyak perusahaan star-up yang membutuhkan programmer. Saat ini, jumlah star-up di Bali berjumlah ratusan. Artinya, dibutuhkan ratusan pula pekerja di bidang programmer setiap tahunnya. “Kalau di Indonesia tentu jumlahnya mencapai puluhan ribu,” papar dia.

Ia mencontohkan perusahaan ojek berbasis aplikasi yang saat ini berkembang pesat di Indonesia. “Gojek misalnya, mereka sekarang pakai jasa programmer-nya dari India. Bahkan, dengan dana yang mereka miliki, sekarang mereka buat Litbang di India. Jadi, ini buat kita untuk mengejar ketertinggalan ini berita buruk juga, kenapa mereka tidak buat di Indonesia,” ujarnya.

“Di Jakarta kita ambil contoh, orang-orang IT itu sudah dipenuhi oleh orang India. India memiliki sangat banyak programmer. Kita di Indonesia meluluskan puluhan sampai ratusan ribu mahasiswa IT. Tapi, yang memilih menjadi programmer itu tidak banyak. Padahal kampus-kampus IT itu sebenarnya melahirkan programmer,” tambah Artana.

Untuk mencetak programmer disampaikan Artana memang membutuhkan waktu. Tak secepat kilat Indonesia dapat mengejar ketertinggalan dari India soal tenaga kerja di bidang programmer. STIMIK Primakara berupaya mengejar ketertinggalan tersebut dengan mencetak programmer dalam jumlah banyak dengan kualitas seperti yang diinginkan.

“Dari beberapa tahun lalu kita upayakan itu. Penguatan di dosen, sertifikasi dan kampanye ke mahasiswa. Kenapa kampanye ke mahasiswa, karena opini yang terbentuk di masyarakat itu programming itu sulit,” katanya. Artana tak menampik jika ilmu programming itu memang lumayan rumit. Namun, ia mencontohkan belajar programming ibarat permainan Lego.

Artikel ini ditulis oleh:

Andy Abdul Hamid