Penerapan pajak tinggi jokowi
Banyaknya pembangunan infrastruktur yang dipaksakan membuat belanja pemerintah terus membengkak. Kondisi ini membuat APBN terus terbebani, sehingga membuat pemerintah pun banyak menarik utang baru, mencabut subsidi dan atau menarik pajak dari masyarakat. Penerimaan pajak hingga akhir tahun ini diperkirakan tak akan mencapai target atau shortfall mencapai Rp200 triliun lebih.
Menteri keuangan Sri Mulyani pun mengeluarkan Aturan turunan dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) nomor 1 tahun 2017 berupa Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 70 tahun 2017 yang mengatur mengenai tata cara dan prosedur pelaporan informasi keuangan.
Dalam peraturan tersebut terdapat aturan yang mewajibkan pihak perbankan melaporkan data nasabah dengan total saldo di rekening minimal Rp 200 juta demi kepentingan perpajakan. Di tengah daya beli yang lemah, kebijakan pemerintah yang memburu perpajakan secara ketat, termasuk wacana revisi UU PNBP, telah menjadi ‘teror’ tersendiri bagi masyarakat.
Sedangkan bagi pengusaha, tindakan pemerintah ‘berburu di kebun binatang’ ditengah kelesuan pasar membuat tidak nyaman. Akibatnya para pemilik modal lebih memilih meletakkan uangnya pada tabungan dibanding melakukan belanja investasi. Hal ini tentu juga berkontribusi pada perlambatan ekonomi.
“Sekarang ini para pemilik modal agak terganggu dengan perpajakan yang sangat agresif sekali. Harusnya pemerintah lebih lunak,” kata Ekonom Universitas Brawijaya (Unibraw), Candra Fajri Ananda Sabtu (25/11).
Pengamat dari Universitas Bung Karno (UBK), Gede Sandra menyatakan bahwa sudah waktunya pemerintah meninggalkan rumus-rumus neoliberalisme yang kerap memupuk utang, pengetatan anggaran, dan perburuan pajak. Rasio pembayaran utang (debt service) terhadap ekspor Indonesia saat ini sudah di lampu kuning (39%), jauh di atas batas aman sebesar 25%.
“Pemotongan anggaran untuk efisiensi memang bagus, tapi bukan untuk memotong program-program yang mempercepat pertumbuhan ekonomi dan memperbaiki kesejahteraan rakyat. Pada saat ingin ekonomi bertumbuh cepat, pajak seharusnya dilonggarkan. Nanti, bila ekonomi sudah kencang, baru pajak dapat kembali dikejar,” katanya, Sabtu (16/12).
Menurutnya, ada solusi-solusi untuk Indonesia agar perekonomiannya dapat atau setidaknya menyamai laju rata-rata negara Asia, yaitu di kisaran 6,5%. Setidaknya terdapat empat pompa untuk mencapainya. Pertama pompa fiskal non-APBN (budget), Kedua pompa kredit, Ketiga, pompa daya beli, dan Keempat, pompa kebijakan.
Dari empat aspek Konsensus Washington yang juga dikenal sebagai pendekatan neoliberalisme, sepertinya pemerintahan Jokowi-JK sudah meninggalkan Trisakti yang digadang-gadang ketika awal kampanye. Berdikari dalam bidang ekonomi yang diwujudkan dalam pembangunan demokrasi ekonomi yang menempatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan dalam pengelolaan keuangan negara dan pelaku utama pembentukan produksi dan distribusi nasional hanya simbol belaka. Pemeirntah Jokowi-JK masih saja memupuk utang, melakukan pengetatan anggaran, mencabut subsidi dan melakukan perburuan pajak. Bahkan, berbagai perusahaan BUMN didorong untuk berlomba-lomba menjual surat utang.
Misalnya, PT Hutama Karya (Persero) selaku pengembang Tol Trans Sumatera mendapat utangan baru dari sindikasi tujuh bank senilai Rp8 triliun. Perusahaan Listrik Negara (PLN) pun tak luput dari utang. Data laporan keuangan PLN triwulan-II 2017 (unaudited), mencatat jumlah utang jangka panjang PLN sebesar Rp299,364 triliun. Jumlah utang jangka panjang ini naik sekitar Rp40,025 triliun dibandingkan triwulan II-2016 (audited) yang sebesar Rp 259,339 triliun.
Peneliti Ekonomi Politik, Salamuddin Daeng mengatakan proyek ketenagalistrikan yang dijalankan oleh pemerintahan Jokowi-JK secara prinsip bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945 dan juga bertentangan dengan Putusan Mahkamah konstitusi (MK). Alasannya, seluruh kebijakan program dan proyek yang dijalankan oleh pemerintah, hanya didasarkan pada kepentingan bisnis listrik semata atau bussines as usual.
“Seluruh kebijakan, program dan proyek yang dibuat semata mata ditujukan untuk mengumpulkan uang melalui utang, investasi swasta dan atau asing, menciptakan peluang bisnis bagi swasta dan atau asing serta menciptakan peluang bagi swasta dan atau asing memperoleh keuntungan yang sebesar besarnya,” kata Daeng, Kamis (30/11/2017).
Artikel ini ditulis oleh:
Eka