Deretan rumah semi permanen di bantaran Sungai Ciliwung, Manggarai, Jakarta, Rabu (23/11/2016). Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro mengatakan saat ini terdapat 13,5 juta penduduk Indonesia yang hidup miskin di lingkungan kumuh. AKTUAL/Munzir

Jakarta, Aktual.com – Pemerintah diminta jangan bangga dulu dengan penurunan gini ratio atau rasio ketimpangan yang baru dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) itu.

Pasalnya, selain cara hitungnya juga kurang lebih andalkan konsumsi dibanding pendapatan, juga di tahun ini angka ketimpangan bisa makin melebar tatkala laju inflasi diprediksi bisa kian tinggi.

“Saya melihat, data ketimpangan versi BPS diprediksi akan meningkat di akhir tahun 2017 ini, karena faktor inflasi yang bisa lebih dari 4%, bahkan lebih tinggi lagi,” ungkap ekonom INDEF, Bhima Yudhistira Adhinegara kepada Aktual.com, di Jakarta, Kamis (2/2).

Menurut Bhima, lonjakan inflasi yang tinggi jangan dianggap remeh. Pasalnya, hal itu akan menggerus daya beli masyarajat bawah, sekaligus juga bakal menambah orang miskin baru, yang berarti semakin lebar ketimpangan nantinya.

“Inflasi bisa lebih tinggi lagi (di 2017). Terlihat dari inflasi Januari yang mencapai 0,97%. Angka ini tertinggi selama dua tahun terakhir,” cetus dia.

Dengan inflasi yang tinggi itu, kata dia, membuat konsumsi 40% kalangan masyarakat termiskin makin menurun. “Karena inflasi itu akan menggerus daya beli. Sehingga potensi masyarakat miskin baru bertambah. Apalagi jika dilihat ketimpangan pendapatan, kita itu masih masuk negara paling timpang nomor empat di dunia,” pungkas dia.

Rasio ketimpangan atau gini ratio yang dirilis oleh BPS hingga September 2016 disebut mengalami perbaikan 0,003 dari 0,397 menjadi 0,394.

(Laporan: Busthomi)

Artikel ini ditulis oleh:

Eka