“Artinya, warga miskin perdesaan harus berjuang lebih keras untuk bertahan hidup dengan membayar pengeluaran konsumsi yang lebih besar daripada warga miskin perkotaan,” kata dia.

Keempat, fenomena kesejarahan. Menilik lalu lintas perairan yang cukup ramai oleh kapal-kapal besar sejak abad ke-1 di Samudera Hindia, Sultan berkeyakinan apa yang disebut saat ini sebagai multikulturalisme, kosmopolitanisme ataupun globalisme sebetulnya telah ada dan terjadi sejak dulu.

Hal ini menandakan Samudera Hindia yang memiliki bentang ruang air sangat luas ternyata bukan pemisah kantong-kantong peradaban yang tersebar di ujung-ujung perairan, melainkan menyatukannya ke dalam satu jaringan peradaban yang sangat kuat dan jejaknya telah menjadi bagian kehidupan dan penghidupan manusia saat ini.

“Ke-empat fenomena di atas saya usulkan sebagai landasan empiris sekaligus landasan historis untuk membangun tema ‘Abad Samudera Hindia’. Tema baru ini sangat gayut dengan trilogi filosofi keistimewaan Yogyakarta, yakni Hamemayu Hayuning Bawana, Sangkan Paraning Dumadi, dan Manunggaling Kawula Gusti,” demikian Sultan.

[Nelson Nafis]

Artikel ini ditulis oleh:

Nelson Nafis
Wisnu