“Ini menjadi aneh karena kesepakatan (Rakortas) dibuat tanpa hadirnya para pihak yang berperkara, yaitu penggugat (Hanura kubu Sudding) dan tergugat (kubu OSO),” tegas Petrus.
“Artinya Wiranto menyalahgunakan jabatan Dewan Pembina Partai memperalat Menko Polhukam mengintervensi Badan Peradilan dan KPU untuk kepetingan Wiranto, Daryatmo dan Sarifuddin Sudding,” sambung Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) ini.
Sementara, pada butir kedua dalam surat untuk OSO, masih dikatakan Petrus, Wiranto menegaskan bahwa berdasarkan hasil Rakortas Tingkat Menteri, Dewan Pembina dan Dewan Penasehat meminta agar para pengurus partai Hanura untuk melakukan tiga hal.
Tiga hal itu adalah (1) menghormati dan memenuhi keputusan hukum yang dikeluarkan dan disepakati (tanpa menjelaskan apa isi kesepakatan) antara PTUN Jakarta, Mahkamah Agung, Menkumham dan KPU; (2) melakukan koordinasi dan konsolidasi dalam rangka memberikan dan kelancaran pelaksanaan pendaftaran calon legislatif kepada seluruh kader Partai Hanura di semua tingkatan; dan (3) mengutamakan kepentingan organisasi dan stakeholder partai daripada kepentingan pribadi dan kelompok.
Padahal menurut Petrus, surat kepada OSO itu seharusnya dibuat dan ditandatangani oleh Wiranto dalam jabatan sebagai Menkopolhukam, karena berisi soal hasil Rakortas TIngkat Menteri tentang tindak lanjut putusan PTUN Jakarta Nomor 24/G/PTUN-JKT, yang juga diinisiasi oleh Menkopolhukam itu sendiri.
“Di sinilah letak persoalannya, bahkan publik mengkonstatir Wiranto telah menyalahgunakan jabatan Menko Polhukam dan jabatan Dewan Pembina Partai untuk mengintervensi badan peradilan dan badan-badan independen lainnya (KPU dan DKPP) dalam perselisihan Partai Politik Cq. perkara Gugatan Nomor 24/G/2018/PTUN-JKT antara Daryatmo-Sudding versus OSO-Herry Lontung Siregar,” tutup Petrus.
ant
Artikel ini ditulis oleh:
Nebby