”Terdakwa harus diperiksa dokter yang bertugas di rumah sakit pemerintah, seperti RSCM, RSPAD, atau RS Polri Kramat Jati. Sehingga sakitnya itu benar-benar sudah dipastikan, dan terdakwa sama sekali tidak bisa berjalan menghadiri persidangan. Jadi bukannya surat sakit dari dokter klinik swasta atau dokter pribadinya terdakwa. Jangan seperti kejadian mantan Ketua DPR Setya Novanto yang mobilnya nabrak tiang listrik itu yang belakangan terungkap sakitnya bohong,” papar Alfitra.
Ia menyontohkan, mantan Bupati Kutai Kartanegara Syaukani meski dalam kondisi sakit parah, diangkut ke pengadilan untuk menghadiri persidangan dirinya.
Atau terdakwa penganiayaan dalam demo anarkis yang menuntut pembentukan Provinsi Taput di Medan Sumut pada 2009 lalu, meski dalam kondisi sakit parah juga dibawa jaksa ke pengadilan.
Lebih dalam lagi Alfitra menjelaskan, untuk itu JPU harus mengecek benar-benar kondisi sakitnya terdakwa, dan bukannya asal mempercayai surat keterangan sakit dari dokter swasta yang diserahkan pengacara terdakwa.
Menurutnya ada potensi pelanggaran pidana dari dokter yang bersangkutan kalau memang ternyata terdakwa tidak benar-benar sakit, yakni pelanggaran Pasal 267 KUHP yang menyebutkan ancaman hukuman empat tahun penjara kalau dokter memberikan keterangan palsu tentang ada tidaknya penyakit dari terdakwa.
”Pelanggaran Pasal 267 KUHP kalau dokter memberi keterangan palsu tentang ada tidaknya penyakit, kelemahan atau cacat seseorang. Dan Pelanggaran Pasal 263 KUHP kalau terdakwa membuat surat palsu dokter itu. JPU harus serius bergerak menangani masalah sakit tidaknya terdakwa ini. Apalagi banyak informasi yang melihat langsung terdakwa terlihat segara bugar di beberapa tempat,” urai Alfitra.
Artikel ini ditulis oleh: