Ratusan massa dari Forum Umat Muslim Indonesia (FUMI), menggelar aksi unjuk rasa di depan Istana Negara, Jl Medan Merdeka, Jakarta Pusat, Senin (10/1). Demonstrasi yang di ikuti oleh massa dari sejumlah elemen sebagai langkah desakan terhadap pemerintah untuk menggunakan produk vaksin halal. Tak hanya di Istana negara, demonstran kemudian bergeser menuju Kementerian Kesehatan RI yang berlokasi di Jl Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan untuk menyampaikan aspirasi serupa. Menurutnya, aksi ini bukan sekedar unjuk aspirasi, tapi juga sebagai wujud dukungan terhadap presiden Joko Widodo untuk mengedepankan penggunaan produk vaksin halal di tahun 2022 bagi warga negara Indonesia yang mayoritas penganut agama Islam dalam pidatonya beberapa waktu lalu . Penggunaan vaksin halal juga diperkuat dengan terbitnya fatwa resmi dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Aksi damai yang digelar berjalan dengan tertib dengan pengawalan sejumlah aparat kepolisian di lokasi jalannya aksi unjuk rasa. Foto: AKTUAL / WARNOTO.

Jakarta, Aktual.com – Desakan penggunaan vaksin bersertifikasi halal terus berhembus kencang di masyarakat. Pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan diduga telah melanggar ketentuan UU tentang Jaminan Produk Halal.

Forum Umat Muslim Indonesia (FUMI) yang menggelar aksi demonstrasi di depan kantor Kementerian Kesehatan, Jakarta, Senin (10/1/2022) menyampaikan bahwa Jumlah umat muslim di Indonesia sangat besar (90% dari total penduduk) sehingga pemilihan jenis vaksin halal harus menjadi prioritas pemerintah.

Menurut kuasa hukum Yayasan Konsumen Muslim Indonesia (YKMI) Amir Hasan, SH, MH, dalam surat Edaran Kementerian Kesehatan Dirjen P2P Nomor: HK.02.02./II/252/2022 tentang Vaksinasi Covid-19 Dosis Lanjutan (Booster), pemerintah tidak menggunakan vaksin yang memiliki sertifikasi halal.

“Vaksin booster yang diberikan dalam Surat Edaran tersebut, tidak ada satu pun yang memiliki sertifikat halal,” papar Amir Hasan di Jakarta.

Padahal, sambung pengacara asal Medan itu, UU Jaminan Produk Halal mewajibkan semua produk yang beredar di Indonesia, harus memiliki sertifikat halal.

Dalam Surat Edaran Kementerian Kesehatan Dirjen P2P, Vaksin booster yang diberikan hanya ada tiga yakni moderna, Pfizer, dan astrazeneca. Dimana ketiga jenis vaksin tersebut belum mengantongi sertifikat halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI).

“Ketiganya itu tidak memiliki sertifikat halal dan bahkan fatwa MUI ada yang menegaskan vaksin itu mengandung unsur dari tripsin babi, alias haram,” paparnya.

Katib Am PBNU KH Ahmad Said Asrori

Menanggapi desakan kebutuhan vaksin bersertifikasi halal ini, Katib Am PBNU KH Ahmad Said Asrori menyampaikan bahwa pemerintah berkewajiban menjaga kesehatan masyarakat dan itu menjadi syarat harus vaksin maka itu menjadi wajib. Akan tetapi, Kiai Asrori melanjutkan bahwa kalau tersedia vaksin halal tentu pasti memilih yang halal.

“Kalau tersedia yang halal itu harus” ujarnya saat dihubungi tim Aktual.com, Rabu (12/1) di Gedung PBNU.

Anggota DPR RI Komisi IX Fraksi PKB, Nur Nadlifah

Senada dengan PBNU, Anggota DPR RI Komisi IX Fraksi PKB, Nur Nadlifah menyampaikan bahwa Kemenkes harus menyediakan vaksin halal dan pilihan kepada masyarakat.

“Kalau dibilang darurat ya darurat tapi kan ada pilihan lain, kalau sudah ada pilihan yang halal harus memakai yang halal, saya juga tidak mau pakai barang haram, nanti ibadah saya bagaimana?” Kata Nur saat menghadiri dialog aktual.com, Jumat (21/1).

Ketua Umum PB HMI Affandi Ismail

Pernyataan diatas didukung penuh oleh Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam MPO (PB HMI-MPO) Affandi Ismail. Ia menegaskan bahwa Vaksin halal itu berkaitan dengan ideologi, keyakinan. Ini mesti diprioritaskan melihat populasi masyarakat Indonesia adalah muslim.

“Bahwa ada beberapa ada produk vaksin yang ternyata belum bersertifikasi halal. Maka ini yang harus kita tentang, komitmen ke-Islaman dan ke-Indonesiaan HMI jangan diragukan,” tegas Affandi dalam dialog Aktual yang diselenggarakan secara virtual di Jakarta, Jumat (21/1).

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Dede Eka Nurdiansyah