Teheran, Aktual.com – Saling serang antara Iran dan Israel sudah memasuki hari ke lima. Puluhan pangkalan militer, pangkalan rudal, dan infratruktur militer dan energi Iran sudah hancur lebur dibombardir Israel menggunakan rudal dari jet tempur dan drone tempur.
Begitu pun sebaliknya, serangan balasan Iran menggunakan rudal jarak jauh dan drone tempur sudah banyak memberi kehancuran terhadap infrastruktur sipil dan militer Israel. Sudah ratusan nyawa melayang dan terluka, baik dari pihak Iran maupun Israel.
Terbaru, Iran kini mempertimbangkan akan menutup Selat Hormuz yang merupakan jalur pelayaran ”maha penting” untuk pengangkutan minyak bumi dari Timur Tengah ke seluruh dunia. Sekitar 40 persen minyak bumi yang dikonsumsi di seluruh dunia, melintasi Selat Hormuz.
Dilansir dari Arab News, salah seorang Komandan Korps Garda Revolusi Islam (IRGC) yang juga anggota Parlemen Iran, Sardar Esmail Kowsari dalam sebuah wawancara yang disiarkan televisi Iran memperingatkan bahwa penutupan Selat Hormuz sedang dipertimbangkan, dan Iran akan membuat keputusan terbaik dengan tekad yang kuat.
Sedangkan dilansir dari Open The Magazine, Sardar Esmail Kowsari mengatakan : ”Jika keamanan nasional kita terancam, Iran berhak untuk menanggapi dengan tegas, termasuk dengan mengendalikan Selat Hormuz.”
Menurut para ahli, militer Iran dapat menggunakan drone tempur, seperti seri Shahed, untuk menargetkan rute pelayaran atau infrastruktur tertentu di selat tersebut. Iran juga dapat menggunakan kapal angkatan laut mereka untuk menghalangi jalur melalui selat tersebut.
Masih dilansir dari Open The Magazine, inti dari kecemasan global atas eskalasi militer Iran-Israel jelas adalah Selat Hormuz, jalur pelayaran sempit namun penting yang menghubungkan Teluk Persia dengan Teluk Oman. Faktanya, titik sempit ini, yang dilalui oleh 4 dari 10 barel minyak yang diperdagangkan secara global, namun menjadi jalur yang paling rentan dalam sistem energi internasional.
Menurut Badan Energi Internasional (IEA), hampir 20 juta barel minyak melewati Selat tersebut setiap hari pada tahun 2023, hampir 30 persen dari perdagangan minyak global melalui laut. Jalur penting ini menghubungkan raksasa penghasil minyak seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab (UEA), Kuwait, Qatar, Irak, dan Iran kepada negara-negara yang haus energi seperti China, India, Jepang, dan Korea Selatan.
Sekitar 3 ribu kapal melintasi Selat Hormuz setiap bulan untuk menuju dan dari Teluk Persia, untuk mengangkut minyak, gas alam, dan barang lainnya. Dengan sedikit alternatif yang layak, gangguan apa pun akan memicu konsekuensi langsung dan luas.

IRGC-Navy telah menugaskan kapal induk drone, Shahid Bahman Bagheri, yang berfungsi sebagai kapal induk drone dan pangkalan operasi terdepan. Landasan pacunya berukuran 180 meter & berisi 8 hanggar – foto X
Kini, dengan isyarat yang diberikan Teheran bahwa penutupan Selat tersebut ’sedang dipertimbangkan’ pada level tertinggi, meski lebih bersifat retorika daripada mendesak. Hal tersebut menghidupkan kembali kekhawatiran akan eskalasi asimetris menyusul serangan Israel pada 13 Juni lalu yang menewaskan pejabat tinggi militer Iran, ilmuwan nuklir, dan warga sipil.
Sementara itu, Badan Informasi Energi AS memperkirakan bahwa sekitar seperlima dari konsumsi minyak bumi global melewati Selat Hormuz setiap tahunnya. Ancaman gangguan, nyata atau yang dipersepsikan, cukup untuk mengguncang pasar energi di seluruh dunia.
Militer Israel sendiri telah melancarkan serangan terhadap ladang gas terbesar Iran, South Pars, yang terletak di lepas pantai Provinsi Bushehr, Iran, dan berbagi cadangan gas alam terbesar di dunia dengan Qatar, yang memaksa para analis untuk mengatakan bahwa serangan semacam itu hanya membuat pasokan energi Rusia menjadi lebih berharga.
Faktanya, Selat Hormuz bukan hanya tentang minyak. Di sisi lain, ia juga merupakan jalur penting untuk gas alam cair (LNG). Dalam sepuluh bulan pertama tahun 2023, menurut IEA, hampir 90 miliar meter kubik LNG Qatar dan 5,5 miliar meter kubik dari UEA mengalir melalui Selat tersebut, atau sekitar 20 persen dari perdagangan LNG global, yang mendorong negara-negara Asia yang bergantung pada impor gas.
Qatar, eksportir LNG terbesar kedua di dunia setelah AS, tidak dapat mengalihkan kargo melalui jalur pipa mana pun. Menurut IEA, negara-negara seperti Bangladesh, India, dan Pakistan mengimpor lebih dari 70 persen LNG mereka melalui Selat Hormuz. Jika terjadi penutupan, pembangkit listrik bertenaga gas mereka akan menjadi yang pertama berhenti beroperasi, yang mengakibatkan pemadaman listrik, penutupan pabrik, dan kekurangan pupuk.
IEA memperkirakan bahwa penutupan penuh akan menghentikan 295 juta meter kubik gas per hari, hampir dua kali lipat aliran harian pipa Nord Stream Rusia sebelum disabotase. Tidak ada produsen LNG lain yang memiliki kapasitas cadangan untuk mengisi kekosongan itu, menurut IEA.
Sementara angkatan laut Barat mempertahankan kehadirannya di Teluk, ketegangan tetap tinggi. Menurut laporan, Angkatan Laut AS baru-baru ini mengeluarkan pernyataan hati-hati yang menegaskan kembali komitmennya untuk ’memastikan arus perdagangan bebas melalui semua perairan internasional’ tanpa secara langsung menyebut Iran.
Negara-negara Eropa, yang sudah terhuyung-huyung akibat krisis energi yang dipicu oleh invasi Rusia ke Ukraina, semakin bergantung pada pasokan energi dari Teluk Persia. Pada tahun 2023, impor Eropa dari kawasan tersebut melonjak hingga lebih dari 900 ribu barel per hari, naik dari 700 ribu sebelum perang, menurut para analis. Gangguan di Selat Hormuz akan berdampak jauh melampaui Asia, mengguncang pasar di seluruh benua, mereka memperingatkan.
Sekali lagi, hal ini juga akan membuat pembeli Asia dan Eropa bersaing satu sama lain, menaikkan harga dan memaksa pemerintah untuk memilih antara memutus aliran listrik, menutup industri atau mensubsidi energi dengan biaya fiskal yang sangat besar.
Di negara-negara seperti Bangladesh dan Pakistan, yang mana gas masing-masing menghasilkan 60 persen dan 35 persen pembangkitan listrik, dampaknya akan sangat buruk, memperdalam inflasi dan menimbulkan risiko kerawanan pangan. Oleh karena itu, Selat Hormuz, meski hampir tidak terlihat di peta dunia, tetap menjadi titik kritis energi paling berbahaya di planet ini. Dan sekali lagi, ia menjadi pusat krisis global.
Sementara dilansir dari Al Jazeera, Selat Hormuz yang merupakan satu-satunya pintu masuk laut menuju Teluk Persia. Dimana selat ini memisahkan Iran di satu sisi, dan Oman serta Uni Emirat Arab di sisi lainnya. Selat ini juga menghubungkan Teluk Persia dengan Teluk Oman dan Laut Arab di kawasan Samudera Hindia. Pada titik tersempitnya, lebar Selat Hormuz hanya sekitar 33 kilometer, dan jalur pelayaran di dalamnya bahkan lebih sempit, menjadikannya sangat rentan terhadap serangan atau ancaman penutupan.
Pakar keamanan Claude Moniquet mengungkap empat dampak yang akan terjadi jalur perdagangan minyak tersebut diblokir. Pertama, harga minyak dunia akan melonjak tajam dan pasokan berkurang.
Kedua, guncangan hebat pada ekonomi dunia, disebabkan harga minyak yang akan meningkat tajam berdampak pada angka inflasi. Kenaikan harga dan pasokan yang menurun akibat tersendat jalur perdagangannya, akan mengganggu berbagai sektor industri. Sektor manufaktur, transportasi, dan pertanian akan sangat rentan. Reaksi pasar dan volatilitas di bursa saham Eropa dapat menjadi efek berantai.
Ketiga, terjadi peningkatan tensi perang. Blokade Selat Hormuz oleh Iran, dapat memicu konfrontasi militer yang melibatkan AS, Uni Eropa, dan negara-negara Teluk, yang berisiko memicu perang regional yang lebih luas.
Keempat, mandeknya perdagangan global dan naiknya biaya transportasi. Selat Hormuz merupakan rute utama untuk pengiriman global. Gangguan dapat menunda impor bahan baku, elektronik, dan barang-barang konsumen Eropa, yang memengaruhi rantai pasokan. Premi asuransi untuk pengiriman dapat melonjak, sehingga meningkatkan biaya bagi bisnis dan konsumen Eropa.
(Indra Bonaparte)