Pemanggilan 16 organisasi Islam ke Hambalang oleh Presiden Prabowo di tengah bara demonstrasi yang berujung ricuh bukanlah langkah yang bisa dipandang remeh. Namun, pertanyaan yang muncul adalah mengapa ormas Islam yang dipanggil pertama? Apakah negara kini menggantungkan legitimasi sosial dan moralnya pada kekuatan agama, sementara saluran politik dan institusional kehilangan daya pengaruhnya?

Islam di Indonesia memang lebih dari sekadar agama. Ia telah menjelma menjadi ekosistem sosial, dari pesantren kecil di pelosok hingga organisasi raksasa di ibu kota, yang membentuk jaringan komunikasi efektif.

Seorang kiai di desa seringkali lebih dipercaya daripada pejabat negara yang berpidato di layar kaca. Prabowo tentu menyadari, negara bisa memerintah, tapi ulama bisa menasihati. Perintah aparat bisa diabaikan, tapi suara dari mimbar Jumat bisa menembus hati umat.

Namun, di sinilah letak kritiknya. Ketika negara harus ‘meminjam’ suara ormas Islam untuk meredam amarah rakyat, bukankah itu menandakan krisis legitimasi politik?

Seruan pemerintah agar masyarakat tidak anarkis terdengar formalitas belaka. Sebaliknya, ketika ulama menyebut kekerasan bertentangan dengan Islam rahmatan lil ‘alamin, barulah pesan itu dianggap berbobot. Negara membutuhkan legitimasi moral dari agama, karena instruksi politiknya sendiri dianggap tumpul.

Ormas Islam di Persimpangan

Sejarah memang mencatat peran krusial ormas Islam dalam menjaga bangsa dari kehancuran. Resolusi Jihad NU tahun 1945 mengubah ketakutan rakyat menjadi energi perlawanan. Krisis 1998, NU dan Muhammadiyah menjadi jangkar moral agar bangsa tidak karam di lautan amarah.

Kini, skenario serupa kembali hadir. Rakyat marah atas arogansi DPR yang menambah tunjangan di tengah penderitaan, dan tragedi Affan Kurniawan, driver ojek online yang tewas terlindas rantis Brimob, menjadi simbol negara yang melukai rakyatnya sendiri.

Dalam situasi ini, ormas Islam lagi-lagi dipanggil untuk meredam bara. Tetapi ada risiko besar, ormas yang seharusnya menjadi penyejuk bisa terjebak sebagai alat legitimasi politik kekuasaan. Ketika doa damai dijadikan pengganti keadilan, saat itulah suara moral berubah menjadi peredam kritik.

Belajar dari Sejarah, Jangan Mengulang

Dari sejarah kita belajar bahwa ormas Islam memang lentera, tetapi cahaya itu tidak boleh dipaksa untuk menyinari jalur kekuasaan semata. Resolusi Jihad lahir dari dorongan moral membela tanah air, bukan dari pesanan elite politik. Seruan damai Gus Dur dan Muhammadiyah di 1998 muncul untuk menjaga rakyat, bukan untuk mengamankan kursi penguasa.

Hari ini, bangsa kembali berada di persimpangan. Pertanyaannya, apakah ormas Islam akan kembali menjadi penuntun jalan bangsa, atau justru terjebak menjadi tameng negara yang gagal menghadirkan keadilan?

Rizky Zulkarnain

Artikel ini ditulis oleh:

Andry Haryanto