Jakarta, Aktual.com – Kejaksaan Agung masih menunggu kelengkapan bukti dari penyelidikan Komnas HAM terhadap terjadinya dugaan pelanggaran HAM berat.
“Hanya masalah perkara pelanggaran HAM berat ini yang memiliki kewajiban mengumpulkan bukti awal itu Komnas HAM untuk mengadakan penyelidikan, sementara Kejaksaan menerima hasil penyelidikan Komnas HAM dan itu lalu diteliti apakah sudah memenuhi syarat untuk ditingkatkan ke penyidikan atau belum, tentunya sedang kita bicarakan terus,” kata Jaksa Agung HM Prasetyo seusai bersilaturahim dengan Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan Bogor pada Jumat (15/6).
Pada 31 Mei 2018 lalu, Presiden Joko Widodo memerintahkan Jaksa Agung HM Prasetyo untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM seusai bertemu dengan para peserta aksi Kamisan.
Kasus-kasus tersebut antara lain kasus 1965-1966, kasus Talangsari Lampung, kasus Tanjung Priok, kasus penghilangan orang secara paksa, kasus Mei 1998, kasus Trisakti-Semanggi 1 dan 2 Jakarta , kasus Jambu Keupok dan Simpang KKA di Aceh.
“Kita sudah bicara dengan semua pihak bahkan sebelum mereka datang (ke Istana Presiden), juga ada perwakilan yang sempat ketemu dengan Komnas HAM juga sempat bertemu, kita semua sepakat tentunya dengan melihat fakta-fakta yang ada,” ungkap Prasetyo.
Prasetyo mengakui bahwa Kejaksaan Agung kesulitan untuk memproses kasus-kasus tersebut karena kasus-kasus itu sudah lama berlalu sehingga saksi dan buktinya pun belum mencukupi.
“Saya selalu katakan bahwa peristiwa itu sudah lama terjadi sementara tentunya penegakan hukum itu harus di atas fakta dan bukti. Bukti itu macam-macam, ada saksi, ahli, ada surat-surat dan ada petunjuk tentunya harus dikumpulkan dengan baik dan kami tentunya mengharapkan kelengkapan itu karena kalau tidak hasilnya pun tidak maksimal bahkan akan hadapi kegagalan ketika menghadapi pengadilan,” jelas Prasetyo.
Prasetyo mengatakan bahwa ia akan memprioritaskan kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi setelah diberlakukannya UU No 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
“Kita akan coba lebih cermati dulu kasus-kasus yang terjadinya setelah kita memiliki UU Pengadilan HAM No 26 tahun 2000 karena kalau sebelum itu perlu keputusan politik dari DPR dan sebagainya untuk peradilan HAM ad hoc,” tambah Prasetyo.
Prasetyo pun menyarankan adanya penyelesaian nonyudisial terhadap kasus-kasus tersebut.
Artikel ini ditulis oleh:
Nebby