“KPK menduga negara dirugikan Rp4,58 triliun dalam kasus ini. KPK mengajak semua pihak untuk berupaya bersama-sama mengawal ikhtiar mengembalikan uang Rp4,58 triliun tersebut ke negara agar dapat dimanfaatkan oleh masyarakat banyak,” tambah Febri.
BDNI adalah salah satu bank yang dinyatakan tidak sehat dan harus ditutup saat krisis moneter pada tahun 1998. BDNI mengikuti penyelesaian kewajiban pemegang saham (PKPS) dengan pola perjanjian master settlement aqcuisition agreement (MSAA).
BPPN menentukan jumlah kewajiban pemegang saham (JKPS) per 21 Agustus 1998 memiliki utang (kewajiban) sebesar Rp47,258 triliun yang terdiri atas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) senilai Rp35,6 triliun dan sisanya adalah simpanan pihak ketiga maupun letter of credit.
Aset yang dimiliki BDNI adalah sebesar Rp18,85 triliun, termasuk di dalamnya utang Rp4,8 triliun kepada petani tambak yang dijamin oleh PT Dipasena Citra Darmadja (DCD) dan PT Wachyuni Mandira (WM) milik Sjamsul Nursalim yang awalnya disebut Sjamsul sebagai piutang, padahal sebenarnya adalah utang macet (misrepresentasi).
Dari jumlah Rp4,8 triliun itu, sejumlah Rp1,3 triliun dikategorikan sebagai utang yang dapat ditagihkan (sustainable debt) dan dibebankan kepada petambak plasma dan yang tidak dapat ditagihkan (unsustainable debt) sebesar Rp3,5 triliun yang dibebankan kepada Sjamsul sebagai pemilik PT DCD dan PT WM berdasarkan keputusan KKSK pada tanggal 27 April 2000 yang dipimpin Kwik Kian Gie.