Jakarta, Aktual.co — Saat ini situasinya seolah terlihat dilematis bagi Jokowi. Karena di satu sisi para agen neoliberal dalam dan luar negeri merasa punya saham atas kemenangan Jokowi. Mereka pun kini ngotot untuk menagihnya, caranya dengan meminta Jokowi memasukkan agen-agen mereka seperti Sri Mulyani, Chatib Basri, dan Kuntoro Mangunsubroto ke dalam kabinet. 
Demikian disampaikan peneliti Lingkar Studi Perjuangan (LSP) Gede Sandra kepada Aktual.co, Rabu (22/10).
“Namun, di sisi lain mayoritas para pemilih Jokowi jelas bukanlah para teknokrat ekonom dan investor di pasar keuangan, melainkan para pemulung, tukang becak, tukang sayur, supir angkot, kuli pasar, tukang ojek, buruh, petani, nelayan miskin kota, dan mahasiswa di seluruh Indonesia- yang sebenarnya juga punya ekonom-ekonom kerakyatan yang bersuara mewakili mereka seperti Rizal Ramli, Hendri Saparini, Revrisond Baswir, dan Ichsanudin Noersy,” ujarnya. 
Mungkin, sambungnya, kemampuan lobby untuk memenangkan kelompok neolib masuk kabinet jauh lebih canggih dari kubu kelompok kerakyatan, namun sebenarnya Jokowi dapat lebih menggunakan akal sehat dan hati nuraninya. Kenapa akal sehat, karena Jokowi harus paham bahwa terbukti neoliberalisme tidak pernah membawa kemakmuran bagi mayoritas rakyat di suatu negara, tapi hanya semakin memperkaya segelintir kelompok pemodal dan pelaku pasar. 
“Amerika Latin telah menjadi saksi bagaimana saat neoliberalisme diterapkan di negeri-negeri mereka, hasilnya adalah kemiskinan yang semakin meluas dan kesenjangan yang semakin akut. Lalu kenapa hati nurani? Karena diperlukan sensitivitas hati Jokowi yang dapat merasakan getaran kehendak rakyat jelata di Indonesia. Rakyat adalah pemilik negeri ini, bukan pemodal. Karena itulah jika kelak ternyata Jokowi malah mengisi kabinetnya dengan agen-agen neoliberal, maka rakyat yang paham (seharusnya sebagian besar rakyat) hanya akan menyindir sinis: Indonesia, siapapun presidennya, neolib menterinya,” pungkasnya.