Jakarta, Aktual.com — Tragedi Sutan Sjahrir sebagai tokoh sentral Partai Sosialis Indonesia atau yang kita kenal sebagai PSI adalah ketakutan yang berlebihan bahwa nasionalisme dan revolusi akan menjurus pada terjadinya Totaliterisme.
Sehingga pandangan revolusionernya yang berbasis sosialisme, pada perkembangannya justru dituntun oleh skema liberalisme atau neoliberalisme. Bahkan individualisme. Sehingga dengan dalih agar tidak dimusuhi oleh negara-negara maju yang menganut kapitalisme, kemudian membolehkan adanya investasi asing.
Celakanya, kerangka pemikiran Sjahrir yang amat paradoks ini, justru mengilhami pada sebagian besar para ekonom berhaluan neoliberal kita saat ini. Mulai dari era Wijoyo Nitisastro, Ali Wardhana, Emil Salim, hingga Sri Mulyani.
Kekhawatiran Bung Sjahrir yang berlebihan pada nasionalisme, revolusi dan paham peran negara yang kuat dalam menentukan arah kebijakan strategis kenegaraan maupun sebagai instrumen membangun konsensus nasional para elit politik, telah mendorong dia untuk lebih penting menghancurkan feodalisme sebagai prioritas politiknya ketimbang untuk menghancurkan sistem kapitalisme global.
Akibatnya, Bung Sjahrir pada kenyataannya mengabaikan betapa berbahayanya kapitalisme bagi Indonesia di masa depan, tidak saja di sektor politik-keamanan dan ekonomi, melainkan juga di sektor sosial-budaya.
Padahal, di Republik Rakyat Cina sekalipun, penghancuran feodalisme tetap harus diletakkan dalam kerangka tahapan awal untuk menghancurkan sistem kapitalisme, dalam rangka menuju terciptanya masyarakat dan negara sosialisme.
Sedangkan konsepsi Sjahrir yang semula dimaksudkan untuk menciptakan revolusi atas dasar tuntunan sosialisme, kekhawatirannya yang berlebihan pada nasionalisme dan revolusi yang mensyaratkan besarnya peran negara sebagai subyek ekonomi dan politik, pada gilirannya kemudian malah menciptakan sebuah paradoks. Yaitu kawin mawinnya kapitalisme dan feodalisme.
Karena baik kapitalismenya itu sendiri maupun feodalisme, bukannya sama sama dihancurkan, malah justru ditumbuh-kembangkan agar hidup berdampingan secara damai hingga sekarang. Dan hasil perkawinan keduanya, kemudian menjelma jadi Neoliberalisme, dan Kaum Neolib.
Pada tataran ini, para pemimpin dan elit politik negeri ini harus belajar dari tragedi Sutan Sjahrir. Agar para elit dan pimpinan nasional tidak mengulangi paradoks sosialisme ala Sjahrir.
Esensi sejarah Sutan Sjahrir kiranya perlu mendapat perhatian khusus. Mundurnya ekonom Sumitro Joyohadikusumo dari ring satu Sutan Sjahrir di PSI, memang memunculkan banyak versi dan aneka motif yang tetap terbuka bagi kajian para sejarawan.
Namun satu hal jelas, seperti tersurat dalam biografinya, bahwa Pak Cum mundur dari PSI antara lain karena paradoks yang tercermin melalui pola pikir dan gaya kepemimpinan Sjahrir yang cenderung ekslusif dan tidak mengakar ke kalangan masyarakat luas.
Sehingga paradoks dengan watak ideologis dari sosialisme itu sendiri. Apalagi ketika PSI kemudian mengklaim dirinya sebagai pengusung Partai Sosialis Kerakyatan.
Banyak yang bilang kepada saya, bahwa Prabowo, putra Sumitro, lebih mewakili watak pemberontakan ayahnya ketimbang mewakili stereotype dari umumnya kader-kader PSI. Dengan kata lain, Prabowo sudah mengalami transformasi kesadaran, sehingga lebih menonjol watak nasionalismenya.
Begitupun, Prabowo pun kiranya tetap perlu diingatkan untuk tidak mengulangi tragedi dan paradoks Sutan Sjahrir.
Artikel ini ditulis oleh:
Hendrajit