Jakarta, Aktual.co — Sangat orkestratik. Dunia kini bisa melihat dengan jernih, bagaimana bentuk Perang Dingin Baru baru saat ini: Perang Multidimensi.
Ini diawali dengan hubungan yang sangat tidak harmonis antara AS dan Russia. Perang geopolitik yang membisu antara keduanya memuncak di krisis di Ukraina. Yang terjadi di Ukraina bukan semata yang Anda lihat di televisi. Di sana ada sanksi ekonomi, ada perang teknologi militer, ada perang bisnis pipa gas, ada perang diplomatik sampai perang nasionalisme. Sangat multidimensional.
Kali ini, AS mulai meningkatkan derajad orkestrasi perang itu ketingkat yang sangat spekulatif: Menurunkan harga minyak global. Russia melihat, jatuhnya harga minyak global adalah ulah AS memanipulasi pasar. Dampaknya bukan hanya berpengaruh kepada Russia dan “musuh” besar AS yang lain seperti Iran dan Venezuela. Tapi ke seluruh negara-negara yang ada di dunia ini. Sebuah laporan mengatakan, yang paling terpukul adalah beberapa negara di Asia Pasific dan Uni Eropa yang harus berjibaku untuk mengamankan neraca keuangannya, termasuk Indonesia.
Ya. Seperti pernyataan Secretary US Secretary of State Victoria Nuland dan US Assistant Secretary of The Treasury Daniel Glaser kepada Foreign Affairs Comitte of US House of Representative pada Mei 2014 lalu. Bahwa tujuan sanksi ekonomi terhadap Russia bukan hanya untuk merusak hubungan diplomatik dan bisnis antara Rusia dengan Uni Eropa. Namun lebih dari itu, untuk menghancurkan stabilitas ekonomi Russia dengan fokus melemahkan nilai mata uangnya (devalusasi nilai mata uang Rubel) dan menaikkan tingkat inflasi.
Tekanan itu bertambah hebat ketika harga minyak global turun. Karena sekitar 46 persen pendapatan Russia dari sektor migas maka Russia sangat terpukul. Nilai mata uang Rubel bertambah hancur, capital outflow terjadi dan harga barang ikut naik dan rakyat mulai panik. Kalau Presiden Putin tak mampu keluar dari kemelut ini maka tingkat kepercayaan rakyat kepada kepemimpinannya akan turun.
Siapa pemenang dari perang ini?
Sederhana jawabannya, perang akan dimenangkan AS jika Putin jatuh. Jatuhnya Putin akan merubah peta kondisi geopolitik global di Timur Tengah. Lalu, dominasi AS di Timur Tengah dan Uni Eropa akan menguat. Namun, kalau Putin bisa bertahan maka skenarionya akan berubah.
Sekadar informasi, untuk keluar dari tekanan, Putin melakukan beberapa counter yang cukup strategis. Pertama, pada akhir Mei 2014 lalu Russia melakukan deal dan aliansi strategis dengan Tiongkok. Rusia menandatangani kontrak gas baru senilai USD400 miliar dengan Tiongkok. Kontrak ini sempat mengguncang skenario besar AS. Kontrak sekitar 30 tahun tersebut menyatakan bahwa Rusia akan ekspor gasnya ke China sebanyak 38 miliar cubic meters (BCM) per tahunnya dengan harga sekitar USD 10 per cubic feet.
Yang kedua, beberapa saat lalu Putin melakukan deal bisnis gas sangat penting dan strategis juga dengan Turki. Pada 1 Desember 2014 lalu, Putin memutuskan untuk menghentikan pembangunan pipa gas “South Stream Natural Gas” dari Russia ke Bulgaria yang melintasi Laut Hitam.Putin menggantinya dengan proyek pipa gas “Turk Stream” dari Russia ke Turki yang juga melintasi Laut Hitam. Perusahaan raksasa Russia, Gazprom melakukan kerja sama bisnis dengan Perusahaan asal Turki, Botas dalam proyek besar ini.
Salah satu deal “tertutup” antara kedua perusahan itu adalah untuk menekan jatuhnya nilai mata uang Rubel. Bagi Turki, keuntungan dari deal tersebut adalah negaranya akan menjadi pintu masuk gas asal Russia (yang masih murah) ke negara-negara Uni Eropa.
Namun, yang menarik, adalah langkah unik Putin di dalam negerinya. Ketika harga barang naik akibat inflasi, dia menaikkan gaji pegawai negerinya. Terutama gaji guru (termasuk dosen, peneliti dan guru besar), dokter dan paramedis di rumah sakit umum dan klinik. Itu belum kenaikan gaji dan upah di beberapa sektor penting dimana Putin sedang meningkatkan kapasitasnya untuk mendorong daya saing negara.
Namun, sampai kapan harga minyak kembali normal? Ini pertanyaan yang sulit dijawab. Kalau menilik tahun 2008 lalu, ketika harga minyak global jatuh sampai tingkat USD35 per barel. Butuh waktu dua tahun (sampai tahun 2011) harga minyak kembali normal.Anggap saja, butuh waktu yang sama harga minyak kembali normal. Berarti baru normal pada tahun 2017.
Apakah dalam waktu dua tahun itu AS atau Russia dan negara-negara yang terkena dampak (termasuk Indonesia) mampu pulih? Perlu diingat, ketika sistem keuangan Russia kolaps, dampaknya akan berpengaruh langsung ke Uni Eropa sampai Amerika Selatan.Yang jelas, ketika Russia kolaps, AS pasti akan kolaps juga meski tak sehebat Russia.
Bagaimana dengan Tiongkok?
Oleh sebagian pengamat geopolitik, sasaran AS bukan hanya Russia. Namun sasaran lanjutannya adalah Tiongkok.Instabilitas yang terjadi di Russia langsung atau tidak langsung akan mempengaruhi beberapa kesepakatan politik dan ekonomi antara kedua negara itu. Bisa jadi, Tiongkok akan memanfaatkan kelemahan Russia saat ini untuk kepentingan nasionalnya.
Sebenarnya, dari sisi geopolitik, Tiongkok sudah sangat diuntungkan. Melemahnya harga minyak global akan menurunkan “kebekuan” politik dan tensi perang yang terjadi di wilayah Timur Tengah. Dengan kata lain, tantangan besar untuk mewujudkan skema geopolitik global Jalan Sutera-nya (silk road) di wilayah Timur Tengah untuk sementara bisa berjalan tanpa masalah karena tensi perang di Timur tengah (keamanan) akan turun.
Apalagi, Saudi Arabia sudah mulai merubah arah kebijakan energinya untuk lebih menoleh ke Timur. Sejak 2009 lalu, Saudi Arabia sudah menjalin kerjasama strategis dengan Tiongkok. Beberapa kapal tanker besar minyak Saudi sudah terlihat aktif mengirim minyak ke Tiongkok beberapa waktu terakhir ini.
Intinya, menurut Penasihat Presiden Russia Sergey Glazyev, meningkatnya tensi “perang dingin” antara AS, Russia dan Uni Eropa justru akan menguntungkan Tiongkok. Turunnya harga minyak global justru akan melemahkan AS, Russia dan Uni Eropa. Meski Tiongkok juga ikut terkena dampak, namun Tiongkok lebih banyak mendapat keuntungan geopolitik.
Jadi kalau dilihat dari sisi Tiongkok, skema geopolotik global Jalur Sutera-nya akan lebih cepat terealisasi jika konflik antarnegara di Timur Tengah dan Laut China Selatan turun tensinya. Jatuhnya harga minyak global dan perang dingin di lain sisi justru menurunkan tensi kebekuan politik dan peperangan yang ada di kawasan tersebut.
Dalam bahasa geopolitik, memang benar Tiongkok dan AS berbeda kepentingan dalam melihat jatuhnya harga minyak global. Namun, ada beberapa hal yang membuat mereka sepakat dalam hal-hal tertentu. Misalnya berbagi “bisnis” di kawasan Asia Pasific.
Benarkah?
Artikel ini ditulis oleh: