Jakarta, Aktual.co — Sepanjang November ini, Presiden Jokowi untuk pertama kalinya akan memulai debut internasionalnya di tiga forum internasional yang cukup penting dan strategis. Pada 10-11 November, Jokowi akan berada di Beijing, Cina, menghadiri KTT Asia Pacific Economic Cooperation (APEC). 12-13 November, ke Nay Pyi Daw, Myanmar, untuk menghadiri KTT Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) ke-25, dan terakhir pada 15-16 November ke Brisbane, Australia, untuk mengikuti KTT G-20.
Ketiga KTT tersebut tak pelak lagi merupakan forum diplomasi berskala internasional yang mana pertaruhan kepentingan nasional ekonomi Indonesia sangatlah besar, mengingat APEC dan G-20 praktis dikuasai oleh persekutuan strategis Amerika Serikat dan negara-negara Uni Eropa yang tergabung dalam blok ekonomi G-7. Begitupula halnya dengan G-20, meskipun ada Rusia sebagai kekuatan penyeimbang, namun tetap saja didominasi oleh pengaruh kuat Amerika dan Uni Eropa.
Sayang sekali, terkesan Presiden Jokowi beserta tim kabinetnya, seperti Menteri Luar Negeri dan Menteri perekonomian, tidak terlalu siap untuk menampilkan debut pertamanya di forum internasional dengan mengajukan isu-isu strategis untuk dilemparkan forum APEC, G20 maupun KTT ASEAN. Visi Ekonomi Jokowi 5 tahun ke depan hanya menyoroti pentingnya integrasi dan konektivitas ekonomi. Sedangkan di KTT ASEAN, Indonesia akan mengangkat 6 isu seperti kesehatan terkait Ebola, konflik Laut Cina Selatan, dan ASEAN Community Building 2015.
Konflik Laut Cina Selatan, sepertinya dipandang secara spesifik sebagai sengketa kelautan antar bebeberapa negara yang melibatkan Cina, tapi sayangnya tidak dilihat dalam lingkup yang lebih strategi, yaitu trend untuk menjadikan Laut Cina Selatan sebagai Medan Peperangan antara dua negara adidaya : Amerika versus Cina di kawasan Asia Tenggara. Akan menjadi blunder ketika masalah konflik Laut Cina Selatan semata dipandang sebagai persengketaan di wilayah laut antar beberapa negara.
Masalah Kesehatan terkait penyebaran virus Ebola, jelas tidak bisa dipandang semata-mata sebagai isu kesehatan, melainkan harus dilihat dalam perspektif Amerika dan sekutu-sekutu baratnya untuk memanfaatkan momentum mewabahnya virus Ebola untuk mewujudkan kepentingan-kepentingan strategisnya di bidang ekonomi, politik dan bahkan kemiliteran, di negara-negara yang sedang dilanda wabah Ebola.
Dan yang paling krusial terkait KTT ASEAN, yaitu kesiapan Indonesia menyongong ASEAN Economic Community 2015, yang agenda tersembunyinya adalah, adanya rencana strategis dari negara-negara asing untuk menguasai sektor-sektor strategis bidang ekonomi di negara-negara yang tergabung dalam ASEAN, melalui diterapkannya Free Trade Agreement di kawasan ASEAN. Di sinilah aspek paling krusial dari ASEAN Economic Community berdasarkan skema AFTA (ASEAN Free Trade Agreement).
Berdasarkan amatan terhadap beberapa isu yang akan diangkat pemerintahan Jokowi-JK di tiga KTT berskala internasional tersebut, ada satu benang merah yang bisa ditarik, yaitu betapa paham ekonomi neoliberalisme sedang mengepung secara besar-besaran kawasan Asia Tenggara, yang berarti juga Indonesa termasuk negara yang telah ditetapkan sebagai sasaran penguasaan ekonomi.
Karena itu, Indonesia harus mengajukan prakarsa ekonomi yang jauh lebih strategis daripada sekadar mengangkat tema integrasi dan konektivitas ekonomi yang tidak terlalu jelas tujuan dan sasaran strategisnya. Apalagi ketika pemerintahan Jokowi-JK sedang dalam kepungan dan telikungan kekuatan-kekuatan kapitalis global yang dimainkan melalui Skema Ekonomi Neoliberalisme.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka pemerintahan Jokowi-JK harus mempunyai pemetaan yang jelas mengenai akar masalah perekonomian Indonesia saat ini, sehingga mempunyai referensi dan landasan yang kuat untuk melakukan perang diplomasi di tiga forum internasional tersebut: KTT ASEAN, KTT APEC dan KTT G20.
Maka itu, dalam keikutsertaan Indonesia dalam ketiga forum internasional tersebut, harus dipandu oleh penjabaran kembali secara imajinatif Politik Luar Negeri Indonesia yang bebas dan aktif sesuai dengan konstalasi global saat ini, sehingga tidak terjebak untuk beralih dari satelit Amerika Serikat dan Uni Eropa, lantas kemudian berpindah masuk orbit pengaruh Cina.
Politik Luar Negeri yang bebas dan aktif, berarti harus mengondisikan Indonesia dan negara-negara berkembang yang satu visi dan misi, untuk menjadi suatu kekuatan ketiga. Sebagaimana dipertunjukkan oleh pemerintahan Bung Karno melalui prakarsa terbentuknya Konferensi Asia-Afrika pada 1955, maupun solidaritas lintas kawasan yang menjadi dasar terbentuknya Gerakan Negara-Negara non blok.
Harus Kritis Tanggapi Tawaran Bantuan Cina Untuk Pembangunan Infrastruktur Maritim
Menyusul pertemuan Presiden Jokowi dengan Menteri Luar Negeri Cina Wang Yi Senin 3 November, Jokowi terkesan akan mendorong Cina membantu pembangunan infrastruktur, khususnya pengembangan bidang kemaritiman. Pada tataran ini, pemerintah Indonesia harus hati-hati dan pandai-pandai untuk bermain.
Apalagi ketika persaingan global antara Amerika Serikat dan Cina di sepanjang jalur sutra, yang mana termasuk di dalamnya Laut Cina Selatan dan Selat Malaka, semakin meningkat skala dan intensitasnya dalam beberapa waktu belakangan ini.
Informasi yang berhasil dihimpun oleh tim riset Global Future Institute, dalam pertemuan tersebut Menteri Luar Negeri Cina Wang Yi sempat menyinggung tentang Silk Road Economic Belt (SERB) in Asia dan Maritime Silk Road Point (MSRP).
Bayangkan jika Indonesia begitu saja menerima skema kerjasama pembangunan infrastruktur kemaritiman berdasarkan skema SERB dan MSRP, maka Cina akan membantu pembangunan infrastruktur di pulau-pulau besar di Indonesia. Sebagai investor, Cina pada perkembangannya ke depan akan menguasai akses pelabuhan-pelabuhan dan galangan kapal di Indonesia.
Berdasarkan pada tawaran kerjasama Cina berdasarkan skema SERB dan MSRP, apakah kerjasama tersebut bersifat saling menguntungkan antara Indonesia dan Cina? Ini penting mengingat kenyataan bahwa Cina memang mempunyai sasaran strategis menguasai wilayah-wilayah yang berada di jalur Laut Cina Selatan, yang merupakan Jalur Sutra Maritim. Untuk menguasai Jalur Sutra Maritim, Cina punya doktrin kemaritiman yang dikenal dengan String of Pearl.
Jika tawaran Cina berdasarkan skema SERB dan MSRP tersebut disetujui mentah-mentah oleh Presiden Jokowi, maka pembangunan dan pengembangan infrastruktur maritim tersebut justru kontra produktif dari tujuan strategis kita untuk meningkatkan pertahanan dan keamanan maritim Indonesia.
Tentu saja perlu analisis dan penilaian yang kritis terkait permintaan Cina untuk mengaitkan rencana Poros Maritim pemerintahan Jokowi-JK dan Jalur Sutra Maritim Cina.
Ketika sasaran strategis Jalur Maritim Cina bertumpu pada strategi String of Pearl yang tujuan strategisnya adalah penguasaan wilayah-wilayah yang punya nilai strategis secara geopolitik di kawasan Asia Tenggara, Poros Maritim dan Pembangunan Tol Laut semata-mata didasarkan pada gagasan pembangunan ekonomi dan proyek pembangunan infrastruktur bidang kemaritiman.
Dalam hal pembangunan tol laut misalnya, tujuan sesungguhnya hanya sebatas untuk meningkatkan jalur armada angkut kargo laut antar pelabuhan. Jika skema kerjasama Indonesia-Cina seperti ini, maka Indonesia di masa depan akan berada pada pihak yang dirugikan. Karena melalui skema SERB dan MSRP, secara geopolitik Cina akan menguasai Indonesia secara bertahap melalui matra ekonomi.
Akibatnya, di tengah persaingan global yang semakin menajam antara Amerika dan Cina di matra politik, militer dan ekonomi di kawasan Asia Tenggara, posisi tawar Indonesia justru malah semakin melemah. Dan akan menjadi sasaran perebutan pengaruh antara kedua negara adidaya tersebut.
Bagi negara-negara asing, kerjasama strategis dengan Indonesia di sektor maritim memang punya nilai strategis. Sekadar ilustrasi, potensi industri berbasis maritim bernilai 1,2 Triliun dollar Amerika Serikat per tahun.
Wajar jika beberapa negara adidaya, berebut pengaruh untuk menguasai sektor maritim Indonesa dengan memanfaatkan program penguatan sektor maritim sebagaimana dicanangkan oleh Presiden Jokowi.
Adapun penguatan sektor maritim memang sudah dicanangkan oleh Menteri Koordinasi Kemaritiman Indroyono Susilo kepada pers beberapa waktu lalu. Konsep penguatan sektor maritim bertumpu pada ketersediaan kapal-kapal besar yang rutin hilir mudik dengan frekuensi tinggi dari ujung barat di Aceh sampai ujung timur di Papua, atau dari ujung utara sampai ujung selatan Indonesia. Melalui penerapan konsep ini, diharapkan ada peningkatan frekuensi perdagangan antarpulau dan antardaerah.
Selain itu, Menko Kemaritiman Indroyono juga mencanangkan perlunya pembangunan infrastruktur yang mendahului pembangunan Tol Laut sebagaimana yang menjadi program unggulan Jokowi. Seperti misalnya dengan memperkuat jalur utama pelayaran. Untuk itu, Menko Indroyono menekankan ada empat pelabuhan yang perlu segera dibangun di empat titik jalur utama pelayaran dari barat hingga timur Indonesia, yaitu Belawan, Jakarta, Makasar, dan Sorong.
Yang tak kalah penting terkait program pembangunan sektor maritim adalah kesiapan industri nasional kita. Maka dari itu, pembangunan memperkuat sektor maritim harus bersinergi dengan kementerian-kementerian lain khususnya ekonomi. Karena pada perkembangannya kemudian, hal ini menjadi tantangan untuk mengembangkan ekonomi kelautan.
Berarti, seluruh kegiatan ekonomi akan dipusatkan di beberapa wilayah pesisir dan di lautan. Sehingga mau tidak mau, para pemangku kepentingan ekonomi kelautan akan memusatkan perhatiannnya pada beberapa sektor seperti perikanan, industri pengolahan, bahari, dan sebagainya.
Mengingat luasnya lingkup pembangunan sektor maritim dan kelauatan, nampaknya terlalu riskan jika pemerintah Indonesia hanya mengandalkan pada ajakan bantuan kerjasama dari Pemerintah Cina. Bisa-bisa, maksud awalnya adalah untuk menciptakan keseimbangan baru menghadapi dominasi AS dan Uni Eropa, pada perkembangannya malah berpindah dari Mulut Macan, ke mulut Buaya.
Oleh: Hendrajit, Redaktur Senior Aktual.co