Presiden Jokowi

Jakarta, Aktual.com – Keberanian Presiden Joko Widodo dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 yang berlangsung di Hamburg, Jerman dinantikan masyarakat Indonesia. Terutama sistem ekonomi neoliberal yang selama ini merugikan kelompok miskin di negeri ini.

Menurut Juru Bicara Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Khalisah Khalid selama ini mendesak negara-negara dalam G20 untuk mengoreksi sistem perekonomiam neoliberal, yang menjadi paradigma ekonomi global. Hal itu perlu dilakukan agar sistem sosio ekonomi dan politik dunia menjadi lebih berkeadilan.

“Walhi menilai, selama negara-negara anggota G20 tidak mengoreksi sistem ekonomi neoliberal yang menjadi paradigma ekonomi mereka, maka selama itu pula G20 tidak akan pernah berhasil mencapai pembangunan ekonomi yang berkeadilan dan berkelanjutan,” papar dia di Jakarta, ditulis Minggu(9/7).

Khalisah menegaskan, rezim pertumbuhan ekonomi global justru makin melanggengkan ketimpangan penguasaan sumber daya alam, termasuk sumber-sumber agraria.

“Apalagi selama ini kerap terjadi penguasaan oleh segelintir korporasi atas beragam sumber daya tersebut. Karena hal itu selalu berujung pada konflik,” katanya.

Hal itu pun, disebut dia, telah menciptakan ketimpangan ekonomi yang makin nyata dan krisis global terus terjadi. Seperti krisis iklim dan krisis pangan akibat monopoli atau penguasaan korporasi dalam sistem pangan global dan sistem produksi pertanian dunia.

“Karena kondisi tersebut tercipta gara-gara perjanjian perdagangan internasional kerap memihak kepada kepentingan korporasi dan membatasi peran negara,” jelasnya.

Setali tiga uang juga diutarakan Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ), Rachmi Hertanti. Menurutnya, dorongan dan hasil pertemuan G20 di Hamburg, Jerman, jangan sampai menghambat pencapaian kebijakan ekonomi nasional.

“Jangan sampai, reformasi kebijakan perdagangan dan investasi ini nantinya malah menghambat pencapaian paket kebijakan ekonomi dari Presiden Jokowi untuk meningkatkan daya saing nasional,” kata Rachmi.

Menurut dia, dorongan G20 untuk mendisiplinkan sejumlah regulasi domestik agar selaras dengan kebijakan perdagangan dan investasi internasional akan makin mempersempit ruang kebijakan pemerintah Indonesia.

Pasalnya, kata dia, dengan makin sempitnya ruang kebijakan terkait dengan penegakan mekanisme penyelesaian sengketa dapat melemahkan peran pemerintah.

“Bahkan, peran pemerintah pusat menjadi sama atau berada di bawah investor,” ucap dia.

Dirinya juga mengingatkan, pemerintah Indonesia sudah diprotes dan digugat banyak negara akibat menerapkan kebijakan pelarangan ekspor konsentrat dalam rangka untuk memperkuat industri hilir, persyaratan konten lokal, dan pembatasan impor di sektor tertentu.

“Untuk itu, IGJ menilai agenda G20 dalam memerangi proteksionisme melalui reformasi kebijakan perdagangan dan investasi internasional harus disikapi secara hati-hati oleh pemerintah karena hal itu akan menjadi pukulan balik bagi Indonesia,” pungkas dia.

 

Laporan Busthomi

Artikel ini ditulis oleh: