Jakarta, Aktual.co —Peringatan serius dilontarkan kepada para pengelola perekonomian di pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla oleh Kepala Badan Pusat Statistik, Suryamin, pada 5 Mei 2015. Laju pertumbuhan ekonomi pada Kuartal I pemerintahan Jokowi-JK bergerak lambat. Ekonomi hanya tumbuh 4,71 persen sepanjang tiga bulan pertama 2015.
Padahal bila dibandingkan Kuartal pertama 2014, ekonomi tumbuh 5,14 persen. Sedangkan jika dibandingkan dengan Kuartal IV 2014, pertumbuhan ekonomi turun 0,18 persen. Ini merupakan “lampu kuning,” atau “lampu merah” buat pemerintah –tergantung pada seberapa rawan situasi ini di mata para pengelola perekonomian.
Direktur Ekonomi Indef, Enny Sri Hartati, memberi penjelasan gamblang tentang terjadinya situasi ini. Kebijakan pemerintah –seperti kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), tarif dasar listrik, dan elpiji– telah mengganggu konsumsi sehingga menekan daya beli masyarakat. Pada saat yang sama, kebijakan pemerintah yang lain, misalnya pelaksanaan proyek-proyek infrastruktur, belum efektif. Karena kombinasi dua faktor itu, pertumbuhan ekonomi pun menjadi di bawah target yang dicanangkan, yakni 5 persen.
Sedangkan pengamat ekonomi dari Core Indonesia, Mohammad Faisal, menyebut adanya faktor internal dan eksternal yang menyebabkan situasi ini. Dari sisi internal atau faktor domestik, pertama, pertumbuhan yang lambat pada kuartal pertama itu adalah pola yang selalu terjadi tiap tahun, dan pada kuartal kedua akan lebih tinggi.
Kata kuncinya adalah investasi pemerintah yang lambat. Anggaran pemerintah biasanya baru turun mulai April atau Mei, dan biasanya akan sampai ke daerah lebih lambat. Hal ini akan mempengaruhi sektor swasta karena biasanya sektor swasta akan mengikuti kebijakan pemerintah. Penyerapan belanja pemerintah terkait APBNP 2015 yang baru disahkan belum optimal. Sedangkan belanja dari 10 kementerian dan lembaga baru juga belum terealisasi.
Kedua, pertumbuhan ekonomi kuartal pertama 2015 ini lebih lambat dari Kuartal IV 2014 karena ada proses transisi yang harus dilakukan, seperti perubahan nomenklatur dari beberapa kementerian kunci. Kementerian Pendidikan dan Kementerian Pekerjaan Umum (PU) menjadi kunci karena anggaran di dua kementerian ini termasuk yang terbesar. Anggaran PU terkait pembangunan infrastruktur, sedangkan anggaran Pendidikan mencakup proyek-proyek pendidikan.
Selain itu, ada faktor eksternal berupa pelemahan ekonomi dari negara mitra belakangan ini, yang pertumbuhannya lebih lamban dari sebelumnya. Ekonomi AS menguat, tetapi perlambatan terjadi di Eropa, Jepang, dan bahkan China. Jadi, perlambatan ekonomi tidak cuma terjadi di Indonesia, tetapi juga di negara-negara lain. Menurut IMF, seluruh negara berkembang pertumbuhannya lebih rendah.
Melambatnya pertumbuhan ekonomi di negara-negara tujuan ekspor Indonesia dan turunnya harga komoditas dunia berdampak pada menurunnya nilai ekspor Indonesia. Di sisi lain, dengan melemahnya permintaan domestik, impor Indonesia juga menurun.
Untuk mengatasi semua ini, dapatkah kita semata-mata mengandalkan pada “Jokowi Effect?” Yang dimaksud dengan “Jokowi Effect,” meminjam pernyataan Menko Perekonomian Sofyan Djalil, adalah situasi di mana “masyarakat masih antusias, percaya bahwa pemerintah ini akan melakukan restrukturisasi segala hal.” Singkatnya, masyarakat masih percaya pada keseriusan, komitmen, dan kerja keras seluruh jajaran pemerintah Jokowi-JK dalam membangun ekonomi.
Jawaban atas pertanyaan itu adalah: masalah pembangunan dan perekonomian Indonesia terbukti sangat kompleks dan hal ini tidak bisa diselesaikan semata-mata dengan “Jokowi Effect.” Harus ada gebrakan dan langkah-langkah konkret untuk mendobrak situasi, dan melepaskan diri dari pola pikir tradisional atau pendekatan “business as usual.”
Beberapa langkah yang perlu dilakukan, antara lain: Indonesia harus lebih agresif menggenjot ekspor ke negara-negara nontradisional. Sasaran utama ekspor bukan lagi ke China atau Eropa, tetapi harus ke India, Turki, kawasan Timur Tengah, bahkan Afrika.
Di sisi internal, pemerintah harus secepatnya merealisasi anggaran. Para menteri, bahkan Presiden Jokowi sendiri, harus turun ke lapangan untuk mendorong agar realisasi anggaran itu dipercepat dan hal-hal yang menghambat segera dibabat. Target pertumbuhan 5,7 persen di APBN harus diwujudkan.
Persoalan terbesar adalah masalah infrastruktur yang sangat menghambat sektor riil dan industri manufaktur. Ketika pemerintah Jokowi-JK baru terpilih tahun lalu, subsidi BBM kemudian dihapus untuk memperluas ruang fiskal pemerintah. Artinya, perencanaan untuk membangun infrastruktur sudah ada dan dananya pun sudah ada. Maka ini harus cepat diimplementasikan untuk membalik keadaan.
Pemerintah Jokowi-JK tidak bisa bersantai, karena dampak melambatnya pertumbuhan ekonomi ini cukup parah. Selain melesunya dunia usaha, jumlah pengangguran juga meningkat. Kepala BPS Suryamin mengatakan, jumlah penganggur pada Februari 2015 mengalami peningkatan dibandingkan Agustus 2014, yaitu 210 ribu orang. Sedangkan kalau dibandingkan dengan Februari 2014, ada peningkatan 300 ribu orang.
Depok, 7 Mei 2015
e-mail: arismunandar.satrio@gmail.com
Artikel ini ditulis oleh: