Jakarta, Aktual.co — Panggung politik dan hukum Indonesia dalam hampir dua pekan terakhir mendadak diramaikan oleh kasus Komisaris Jenderal Budi Gunawan, yang diajukan oleh Presiden Joko Widodo untuk menjadi Kapolri, menggantikan Jenderal Polisi Sutarman. Kehebohan politik terjadi setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadikan Komjen BG sebagai tersangka kasus korupsi, untuk menjegal proses pengajuan BG menjadi Kapolri.
BG diduga menerima gratifikasi saat menjabat Kepala Biro Pembinaan Karier Sumber Daya Manusia (Karobinkar SDM) Polri 2004-2006. BG dituding memiliki rekening gendut yang jumlahnya tidak wajar, meski sampai saat ia dijadikan tersangka, BG tidak pernah diperiksa atau ditanyai langsung oleh KPK soal rekening gendut tersebut.
Budi disebut-sebut memiliki harta pribadi, yang melonjak drastis hanya dalam waktu lima tahun. Ini tercantum dalam laporan harta dan kekayaan penyelenggara negara (LHKPN)-nya, dari Rp 4,68 miliar pada 2008 menjadi Rp 22,65 miliar dan US$ 24.000 pada 2013. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) merilis temuannya soal indikasi ketidakwajaran rekening Budi pada 2010. Dalam kurun waktu lima tahun itu, Budi menjabat sebagai Kapolda Jambi (2008-2009), Kadiv Binkum Polri (2009-2010), Kadiv Propam Polri (2010-2012), Kapolda Bali (2012), dan Kalemdiklat Polri (2012-sekarang).
Orang pun bertanya-tanya, bagaimana Presiden Jokowi, yang sejak masa kampanye pilpres menyatakan berkomitmen memberantas korupsi, bisa “kecolongan?” Sehingga mencalonkan seorang figur yang terindikasi korupsi, untuk menjadi pimpinan lembaga penegak hukum vital seperti Polri? Mengapa Presiden bisa seceroboh itu?
Presiden Jokowi sendiri beralasan, nama BG ia ajukan sesudah ada rekomendasi nama-nama yang dianggap layak dari Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas). Sedangkan Kompolnas tidak pernah menganggap BG sebagai figur bermasalah. Kompolnas sendiri beralasan, sebelum ini mereka telah mengirim surat ke KPK, meminta komentar tentang nama-nama yang akan diajukan (termasuk BG), namun tak ada jawaban dari KPK.
Di level massa, terjadi dinamika tersendiri. Gelombang penolakan terhadap Komjen BG dari kalangan masyarakat madani, LSM, bahkan kelompok relawan pendukung Jokowi, membuat suasana jadi makin ramai. Tapi penolakan mereka tidak membuat Presiden Jokowi –yang mengaku kaget dengan langkah KPK memberi status tersangka pada BG– mencabut seketika pencalonan Komjen BG.
Meski ada status tersangka KPK terhadap Komjen BG, Komisi III DPR-RI juga pantang mundur dari proses politik, dengan terus melakukan uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) terhadap Komjen BG. Bahkan, tidak seperti biasanya, DPR baik dari kubu Koalisi Merah Putih (KMP) maupun Koalisi Indonesia Hebat (KIH) sangat kompak meloloskan Komjen BG sebagai kandidat Kapolri. Hanya Fraksi Partai Demokrat yang tampil “malu-malu kucing” dalam mendukung Komjen BG. BG sebagai kandidat tunggal dinyatakan secara tegas lulus fit and proper test!
Meskipun proses politik berupa dukungan DPR sudah diraih, gelombang protes masyarakat dan media yang masif terhadap pengajuan Komjen BG membuat Presiden Jokowi mengambil langkah jalan tengah. Jenderal Sutarman tetap diberhentikan sebagai Kapolri, namun pelantikan Komjen BG sebagai Kapolri baru ditunda. Sedangkan agar Polri tidak dibiarkan tanpa kepemimpinan, Wakapolri Komjen Badrodin Haiti ditunjuk menjadi Pelaksana Tugas Kapolri.
Langkah Jokowi sebetulnya hanya menunda persoalan sementara, sambil meredakan ketegangan serta tarik-menarik kepentingan yang sangat keras, terkait pencalonan Komjen BG sebagai Kapolri. Masalah dasarnya belum selesai. Muncul juga spekulasi, mengapa Jokowi begitu bersikeras mengajukan nama BG, yang mantan ajudan Presiden Megawati? Sebagian kalangan menduga, Mega-lah yang mendesakkan nama BG, dan Jokowi tampaknya sulit menolak begitu saja tekanan itu. Jadi, penolakan BG oleh KPK sebenarnya diam-diam merupakan cara Jokowi untuk menolak BG secara tak langsung.
Bagaimanapun, itu hanyalah sebuah spekulasi. Benar atau salah, banyak pihak berharap, Jokowi harus mulai melepaskan diri dari bayang-bayang Megawati, dan menunjukkan leadership-nya secara mandiri. Bagaimanapun, Jokowi-lah yang dipilih rakyat secara langsung untuk menjadi Presiden RI. Maka secara moral, Jokowi harus menunjukkan pada rakyat pemilihnya bahwa dia adalah Presiden RI sejati, bukan “boneka agung” RI.
Untuk tahap-tahap awal, rakyat mungkin masih bisa mengerti, bahwa Jokowi yang merasa “berutang budi” pada Megawati menjadi “ewuh pakewuh” terhadap seniornya di PDI Perjuangan tersebut. Tetapi secara bertahap, jika mau bicara soal “utang moral,” maka utang Jokowi terbesar bukan pada Megawati, tetapi adalah pada rakyat Indonesia. Utang Jokowi sejatinya bukanlah pada segelintir elite politik, yang kini berkumpul di lingkaran sekitarnya dengan memainkan kartu transaksional.
Sesekali Jokowi masih bisa main “kucing-kucingan” dengan berbagai elite politik transaksional di sekitarnya, seperti yang kini diperlihatkan pada kasus penundaan pelantikan Komjen BG. Tapi “kucing-kucingan” semacam ini tak bisa berlangsung terus-menerus, apalagi ketika ia berkembang menjadi bola liar yang berimbas ke mana-mana.
Lihat saja buktinya! Setelah mengajukan gugatan pra-peradilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, tersangka korupsi Komjen Budi Gunawan melaporkan pimpinan KPK ke Kejaksaan Agung. Budi diwakili oleh pengacara dari firma hukum Eggy Sudjana. Menurut pengacara, kesalahan KPK adalah menetapkan Budi sebagai tersangka tanpa pendekatan hukum yang jelas. Pendekatan yang salah itu menetapkan Budi sebagai tersangka dulu baru memeriksa saksi-saksi. Itu dianggap terbalik dan terlalu melampaui asas kepatutan.
Penetapan Budi sebagai tersangka oleh KPK juga mencurigakan karena rentang waktu yang lama dengan laporan awalnya. Dugaan gratifikasi berembus saat Budi menjabat Kepala Biro Pembinaan Karier tahun 2003-2006. Kenapa dibiarkan lama? Di sini KPK dicurigai ikut bermain politik, dan Ketua KPK Abraham Saham dituding punya ambisi dan kepentingan politik. “Perang” antara KPK dan Polri pun mulai menghangat melalui pra-peradilan ini.
Jika bola liar ini tak segera ditangani, dan Presiden Jokowi masih terus terombang-ambing dalam proses pengambilan keputusan yang harus menenangkan semua pihak, maka rakyat dan negara inilah yang akan dirugikan. Jokowi tak bisa lagi terus “kucing-kucingan.” Pola itu tak bisa diulang terus-menerus. Saatnya Jokowi mengambil keputusan sebagai Presiden RI sejati!
Jakarta, 22 Januari 2015
E-mail: arismunandar.satrio@gmail.com
Artikel ini ditulis oleh: