Jakarta, Aktual.com – Jaringan Pembela Hak Perempuan Korban Kekerasan Seksual (JPHPKKS) mendesak Kementerian Koperasi dan UMKM mengusut tuntas kasus perkosaan yang melibatkan empat pegawainya dan memberikan hukuman berat kepada pelaku.

Menurut aktivis JPHPKKS Ninik Rahayu, kasus perkosaan yang terjadi di Kemenkop dan UMKM menjadi preseden buruk. Komisioner Komnas Perempuan dua periode 2014-2016 dan 2016-2019 ini menyayangkan sikap kementerian yang dianggap abai terhadap kasus ini.

“Cara penyelesaian kasus perkosaan pada prinsipnya harus berpegang pada prinsip pemenuhan hak korban atas kebenaran, pemulihan dan keadilan. Ini yang saya tidak lihat dari upaya yang dilakukan Kemenkop dan Kepolisian,” ujar Ninik dalam keterangan tertulis, Selasa (25/10).

Senada dengan Ninik, Ririn Sefsani, pegiat isu perempuan dan reformasi birokrasi yang juga anggota JPHPKKS mendesak Kemenkop UMKM menindak tegas pelaku dan meminta Kemnekop UMKM segera membuat prosedur standar pelayanan (SOP) pencegahan dan penindakan kasus kekerasan seksual. Supaya kasus KS tidak berulang dan dapat mewujudkan ruang aman bagi perempuan.

“Pemerintah telah mengesahkan UU TPKS. Semua kementerian dan lembaga seharusnya menjadi pioner untuk segera menyusun dan menerapkan SOP pencegahan dan penindakan kekerasan Seksual. Kita tunggu komitmen Kementerian ini juga kementerian lain untuk mewujudkan ruang aman bagi perempuan dan anak,” ujar Ririn.

Selain itu, JPHPKKS juga memberikan catatan penting terhadap kasus ini. Pertama, kasus perkosaan yang terjadi di Kemenkop oleh Kepolisian telah disangkakan dengan pasal 286KUH) bukanlah delik aduan. Maka dari itu, kasus ini tidak bisa dicabut apalagi di SP3 kan (diterbitkan surat penghentian penyidikan perkara). Jikapun ada kekurangan alat bukti dan/atau saksi, maka menjadi tugas kepolisian untuk mencari, menemukan, dan melengkapkan.

Kedua, kasus perkosaan orang dewasa, tidak mengenal penyelesaian mediasi dengan keadilan restoratif (Restorative Justice). Pada 18 Maret Kapolres Bogor mengeluarkan SP3 menghentikan tindak pidana kasus ini karena RJ terhadap keempat tersangka pelaku.

Ketiga, Kemenkop UMKM mempunyai tangung jawab hukum untuk mengawal penyelesaian kasus hukum ini, bukan hanya penyelesaian etik. Mengingat korban dan pelaku adalah dalam satu kantor di Kemenkop UMKM. Upaya pencegahan dan penanganan juga menjadi tanggung jawab di mana para pekerja bekerja, bukan hanya kepolisian. Maka penyelesaian dengan cara penurunan jabatan, dan penurunan pangkat serta membiarkan pelaksanaan perkawinan pelaku dan korban merupakan sanksi etik yang tidak menyelesaikan kasus hukum. Proses hukum dalam kasus ini harus memberikan kepastian pengungkapan kebenaran, pemulihan dan keadilan pada korban.

Keempat, Kemenkop UMKM harus memfasilitasi korban agar mendapatkan keadilan. Memberikan dukungan kepada korban untuk melanjutkan proses peradilan, tidak melakukan perbuatan yang dapat mempengaruhi keputusan dan keterangan korban sabagai bentuk pelindungan saksi korban.

Kelima, cara penyelesaian kasus perkosaan baik yang dilakukan Kemenkop UMKM maupun kepolisian pada prinsipnya harus berpegang pada prinsip pemenuhan hak korban atas kebenaran, pemulihan dan keadilan.
Keenam, mendesak Kemenkop UMKM untuk segara membentuk tim independen yang bertugas untuk melakukan investigasi terhadap kasus ini dan memberikan rekomendasi penyelesaian yang adil bagi korban.

Sementara itu, Kementerian Koperasi dan UKM (Kemenkop UKM) pada Selasa (25/10) telah menggelar konferensi pers terkait laporan mengenai adanya empat pegawai yang melakukan pemerkosaan terhadap rekan kerja mereka.

Pemerkosaan itu terjadi pada 6 Desember 2019 di sebuah hotel di kawasan Bogor, usai pelaku dan korban melakukan kegiatan verifikasi berkas lamaran CPNS.

Konferensi pers ini dihadiri oleh Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki beserta aktivis perempuan, staf khusus Kemenkop UKM, dan lainnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: As'ad Syamsul Abidin