Peran media terkait informasi mengenai kejadian bencana sangat penting. Media, khususnya jurnalisme bencana, antara lain menyampaikan berita dan informasi soal bencana, baik pada tahap prabencana, saat bencana, maupun pasca bencana, kepada publik secara akurat, reliable, cepat, dan tepat.

Liputan (coverage) media terhadap bencana terbagi dalam liputan lokal, nasional, dan internasional. Liputan lokal sendiri terbagi dua: liputan daerah dan liputan provinsi. Media lokal dan nasional saat ini harus didorong agar mereka mampu memberitakan, tidak hanya informasi bencana yang berskala nasional dan internasional, tetapi juga yang berskala lokal.

Dalam konteks itu, Ditjen Pengembangan Daerah Tertentu dari Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendesa PDTT) sangat mengharapkan adanya peningkatan kapasitas pemerintah daerah dan masyarakat, agar dapat menyiapkan informasi dan pemberitaan kebencanaan yang terjadi di lingkungan sekitarnya.

Yakni, bagaimana masyarakat dan pemerintah daerah mampu menyiapkan media atau jurnalisme kebencanaan. Jurnalisme kebencanaan ini diharapkan dapat mendorong peningkatan kesadaran masyarakat pada upaya pengurangan risiko bencana (PRB), dan menjadi instrumen dalam membangun daerah tangguh bencana.

Media memiliki peran yang penting dan strategis dalam tiga tahapan kebencanaan: prabencana, saat bencana, dan pasca bencana. Namun, tren media saat ini tampaknya masih lebih menitikberatkan pada publikasi “saat bencana.” Kita perlu mendorong media untuk mempublikasikan usaha/kegiatan dan program-program pengurangan risiko bencana (PRB), jadi bukan hanya heboh saat terjadi bencana.

Urgensi Jurnalisme Bencana

Ada beberapa landasan epistemologis jurnalisme bencana, sebagai genre baru jurnalistik yang sangat penting. Pertama, secara geologis maupun sosiologis, Indonesia adalah negeri rentan bencana.

Kedua, media massa akan selalu memberitakan setiap peristiwa bencana yang terjadi, bahkan peristiwa bencana itu bisa menjadi headline di media cetak ataupun untuk mengisi waktu-waktu prime-time di media televisi.

Ketiga, masyarakat menggantungkan pengetahuannya tentang bencana kepada informasi yang disajikan media massa.

Keempat, bencana selalu diikuti ketidakpastian dan kesimpangsiuran informasi, yang seringkali menyesatkan. Oleh karena itu, media massa menjadi tumpuan masyarakat dalam memperoleh informasi yang akurat.

Ada sejumlah prinsip dalam jurnalisme, yang sepatutnya menjadi pegangan setiap jurnalis. Prinsip-prinsip ini telah melalui masa pasang dan surut. Namun, dalam perjalanan waktu, terbukti prinsip-prinsip itu tetap bertahan.

Bill Kovach dan Tom Rosenstiel (2001), dalam bukunya The Elements of Journalism, What Newspeople Should Know and the Public Should Expect (New York: Crown Publishers), telah merumuskan prinsip-prinsip itu dalam Sembilan Elemen Jurnalisme. Kesembilan elemen tersebut adalah:

Pertama, kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran. Sehingga masyarakat bisa memperoleh informasi yang mereka butuhkan untuk berdaulat. Bentuk “kebenaran jurnalistik” yang ingin dicapai ini bukan sekadar akurasi, namun merupakan bentuk kebenaran yang praktis dan fungsional. Pengejaran kebenaran, yang tanpa dilandasi kepentingan tertentu (disinterested pursuit of truth) adalah yang paling membedakan jurnalisme dari bentuk komunikasi lain.

Kedua, loyalitas pertama jurnalisme adalah kepada warga (citizens). Organisasi pemberitaan dituntut melayani berbagai kepentingan konstituennya: lembaga komunitas, kelompok kepentingan lokal, perusahaan induk, pemilik saham, pengiklan, dan banyak kepentingan lain. Semua itu harus dipertimbangkan oleh organisasi pemberitaan yang sukses. Namun, kesetiaan pertama harus diberikan kepada warga. Ini adalah implikasi dari perjanjian dengan publik.

Komitmen kepada warga bukanlah egoisme profesional. Kesetiaan pada warga ini adalah makna dari independensi jurnalistik. Independensi adalah bebas dari semua kewajiban, kecuali kesetiaan terhadap kepentingan publik. Jadi, jurnalis yang mengumpulkan berita tidak sama dengan karyawan perusahaan biasa, yang harus mendahulukan kepentingan majikannya. Jurnalis memiliki kewajiban sosial, yang dapat mengalahkan kepentingan langsung majikannya pada waktu-waktu tertentu, dan kewajiban ini justru adalah sumber keberhasilan finansial majikan mereka.

Ketiga, esensi jurnalisme adalah disiplin dalam verifikasi. Yang membedakan antara jurnalisme dengan hiburan (entertainment), propaganda, fiksi, atau seni, adalah disiplin verifikasi. Hiburan –dan saudara sepupunya “infotainment”—berfokus pada apa yang paling bisa memancing perhatian. Propaganda akan menyeleksi fakta atau merekayasa fakta, demi tujuan sebenarnya, yaitu persuasi dan manipulasi. Sedangkan jurnalisme berfokus utama pada apa yang terjadi, seperti apa adanya.

Disiplin verifikasi tercermin dalam praktik-praktik seperti mencari saksi-saksi peristiwa, membuka sebanyak mungkin sumber berita, dan meminta komentar dari banyak pihak. Disiplin verifikasi berfokus untuk menceritakan apa yang terjadi sebenar-benarnya. Dalam kaitan dengan apa yang sering disebut sebagai “obyektivitas” dalam jurnalisme, maka yang obyektif sebenarnya bukanlah jurnalisnya, tetapi metode yang digunakannya dalam meliput berita.

Ada sejumlah prinsip intelektual dalam ilmu peliputan: 1) Jangan menambah-nambahkan sesuatu yang tidak ada; 2) Jangan mengecoh audiens; 3) Bersikaplah transparan sedapat mungkin tentang motif dan metode Anda; 4) Lebih mengandalkan pada liputan orisinal yang dilakukan sendiri; 5) Bersikap rendah hati, dan tidak menganggap diri paling tahu.

Keempat, jurnalis harus menjaga independensi dari pihak yang mereka liput (sumber berita). Jurnalis harus tetap independen dari faksi-faksi. Independensi semangat dan pikiran harus dijaga wartawan yang bekerja di ranah opini, kritik, dan komentar. Jadi, yang harus lebih dipentingkan adalah independensi, bukan netralitas. Jurnalis yang menulis tajuk rencana atau opini, tidak bersikap netral. Namun, ia harus independen, dan kredibilitasnya terletak pada dedikasinya pada akurasi, verifikasi, kepentingan publik yang lebih besar, dan hasrat untuk memberi informasi.

Independensi dari faksi bukan berarti membantah adanya pengaruh pengalaman atau latar belakang si jurnalis, seperti dari segi ras, agama, ideologi, pendidikan, status sosial-ekonomi, dan gender. Namun, pengaruh itu tidak boleh menjadi nomor satu. Peran sebagai jurnalislah yang harus didahulukan.

Kelima, jurnalis harus melayani sebagai pemantau independen terhadap kekuasaan. Jurnalis harus bertindak sebagai pemantau independen terhadap kekuasaan. Wartawan tak sekedar memantau pemerintahan, tetapi semua lembaga kuat di masyarakat. Pers percaya dapat mengawasi dan mendorong para pemimpin agar mereka tidak melakukan hal-hal buruk, yaitu hal-hal yang tidak boleh mereka lakukan sebagai pejabat publik atau pihak yang menangani urusan publik. Jurnalis juga mengangkat suara pihak-pihak yang lemah, yang tak mampu bersuara sendiri.

Keenam, jurnalisme harus menyediakan forum publik bagi kritik maupun dukungan warga. Apapun media yang digunakan, jurnalisme haruslah berfungsi menciptakan forum di mana publik diingatkan pada masalah-masalah yang benar-benar penting, sehingga mendorong warga untuk membuat penilaian dan mengambil sikap. Maka, jurnalisme harus menyediakan sebuah forum untuk kritik dan kompromi publik. Demokrasi pada akhirnya dibentuk atas kompromi. Forum ini dibangun berdasarkan prinsip-prinsip yang sama sebagaimana halnya dalam jurnalisme, yaitu: kejujuran, fakta, dan verifikasi.

Ketujuh, jurnalisme harus berupaya membuat hal yang penting itu menarik dan relevan. Tugas jurnalis adalah menemukan cara untuk membuat hal-hal yang penting menjadi menarik dan relevan untuk dibaca, didengar, atau ditonton. Singkatnya, jurnalis harus memiliki tujuan yang jelas, yaitu menyediakan informasi yang dibutuhkan orang untuk memahami dunia, dan membuatnya bermakna, relevan, dan memikat.

Kedelapan, jurnalis harus menjaga agar beritanya komprehensif dan proporsional. Jurnalisme itu seperti pembuatan peta modern. Ia menciptakan peta navigasi bagi warga untuk berlayar di dalam masyarakat. Maka jurnalis juga harus menjadikan berita yang dibuatnya proporsional dan komprehensif. Dengan mengumpamakan jurnalisme sebagai pembuatan peta, kita melihat bahwa proporsi dan komprehensivitas adalah kunci akurasi. Kita juga terbantu dalam memahami lebih baik ide keanekaragaman dalam berita.

Kesembilan, jurnalis menulis dengan suara hati nurani mereka. Setiap jurnalis, dari redaksi hingga dewan direksi, harus memiliki rasa etika dan tanggung jawab personal, atau sebuah panduan moral. Terlebih lagi, mereka punya tanggung jawab untuk menyuarakan sekuat-kuatnya nurani mereka dan membiarkan yang lain melakukan hal yang serupa. Agar hal ini bisa terwujud, keterbukaan redaksi adalah hal yang penting untuk memenuhi semua prinsip jurnalistik.

Prinsip Dasar Jurnalisme Bencana

Pertama, prinsip akurasi. Akurasi menjadi sangat penting dalam pemberitaan. Bukan saja akurat dalam hal mengungkapkan penyebab kecelakaan dan bencana alam, melainkan juga akurat dalam penyebutan waktu kejadian, tempat, nama, serta jumlah korban.

Kedua, berlaku pula prinsip pemberitaan yang harus memperhatikan aspek manusia (human elements). Itu berarti proses jurnalisme dituntut sanggup mengungkapkan suatu peristiwa dari dua sisi. Yakni, cerita tentang manusia dan situasinya, yang sangat menentukan pemulihan. Lalu juga, efek ikutan dari dampak peristiwa traumatik itu terhadap psikologi korban dan kerabatnya, serta psikologi masyarakat pada umumnya.

Ketiga, perspektif korban. Dalam liputan peristiwa traumatik, berlaku pula prinsip suara korban berupa harapan, keluhan, keinginan, dan rasa sedih yang diterima. Aspek ini harus banyak didengar dalam wujud pemberian ruang editorial lebih banyak untuk kepentingan itu. Perspektif korban harus mendapatkan porsi lebih besar daripada porsi kepentingan ekonomi, politik, dan primordialisme, yang justru bisa mengacaukan situasi dalam upaya recovery.

Keempat, jurnalisme harus mampu pula meletakkan peristiwa traumatik itu menjadi memiliki perspektif kemanusiaan yang lebih luas melalui pemberitaan. Hal itu dimaksudkan agar jurnalis, dalam meliput peristiwa traumatik, tidak seharusnya bersikap sekadar menempatkan diri sebagai “pemulung fakta,” yang baru terkaget-kaget mendapatkan temuan lalu memasukkannya ke dalam karung fakta.

Kelima, ungkapkan sisi lain dari peristiwa traumatik itu, yang kemungkinan luput dari pandangan publik. Kejadian-kejadian ikutan lainnya yang berat ataupun yang ringan, yang muncul di sekitar peristiwa traumatik itu, perlu diungkapkan untuk melengkapi cerita tentang situasi agar menjadi lengkap. Dibutuhkan kejelasan tentang informasi dan nilai-nilai, yang dapat menjadi rujukan dalam bersikap dan bertindak.

Tahapan Normatif dalam Pemberitaan Bencana

Ada beberapa tahapan normatif dalam pemberitaan bencana. Pertama, Fase Prabencana, di mana topik utamanya adalah informasi mengenai antisipasi bencana dan peningkatan kesadaran masyarakat.

Kedua, Fase Tanggap Bencana. Dalam fase ini, topik utamanya adalah informasi dasar dan akurat tentang jenis dan sumber bencana, dan carap-cara menyelamatkan diri.

Ketiga, Fase Pasca Bencana/Darurat. Topik utama pada fase ini adalah informasi kawasan bencana, cara memperoleh dan memberikan bantuan logistik, lokasi pengungsian, jumlah korban, dan kerugian.

Kempat, Fase Rehabilitasi. Topik utamanya adalah informasi kondisi pengungsian secara lebih lengkap (penghuni, interaksi sosial, bantuan), pemulihan psikologis, gerakan penemuan keluarga, pendidikan darurat, dan kontrol bantuan bencana.

Kelima atau terakhir, Fase Rekonstruksi. Di sini topik utamanya adalah kampanye bangkit, rehabilitasi sosial dan ekonomi, pembangunan kembali kerusakan fisik, distribusi bantuan rumah dan usaha produktif, serta kontrol bantuan bencana.

Sebagai penutup, bisa kita rangkum, manfaat jurnalistik kebencanaan di daerah adalah: Daerah memiliki instrumen efektif dalam memperkuat sistem informasi bencana. Jurnalisme ini menyuarakan hak masyarakat dalam membangun masyarakat, dan meningkatkan wawasan masyarakat tentang kebencanaan. Jurnalisme ini juga meningkatkan kesadaran dan kepekaan masyarakat dalam menghadapi bencana, serta membangun jaringan informasi kebencanaan dan mendapatkan informasi yang benar dan akurat. ***

*Dr. Ir. Suprayoga Hadi, MSP adalah Dirjen Pengembangan Daerah Tertentu dari Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendesa PDTT).

Artikel ini ditulis oleh: