Jakarta, Aktual.co — Dulu kebijakan jaminan sosial di Indonesia ditangani langsung oleh Asabri, Askes, Jamsostek, dan Taspen.

Dari tahun ke tahun, kelima badan itu selalu menjadi perbincangan terutama soal dugaan korupsi dibalik operasi mulianya. Tak salah peran besarnya dalam melaksanakan program jaminan sosial buat rakyat dipertanyakan.

Setelah Soeharto lengser pada 1998, dan industri keuangan Indonesia diliberalisasi sesusai dengan skenario liberal ala IMF maka keberadaaan kelima badan itu mulai goyang. Ya, IMF menyaratkan bahwa kebijakan social security yang ada juga harus mengikuti skenario IMF. Artinya, tata kelola negara dalam hal jaminan sosial harus mengikuti aturan yang ditetapkan IMF.

Setelah itu, pada Desember 2002 lalu, Asian Development Bank (ADB) menggelontorkan sekitar USD250 juta untuk sebuah program yakni “Financial Governance And Social Security Program (FGSSR)”. Itu belum tercatat beberapa komitmen pinjaman lain yang terus bergulir setelah itu.

Intinya, lewat pinjaman itu, Indonesia harus mereformasi sistem tata kelola keuangan negara dan jaminan sosial. Salah satu produk dari pinjaman ini disamping dibentuknya PPATK dan OJK adalah UU  Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) serta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) termasuk didalamnya UU BPJS.

Dalam skala global, rupanya bukan Indonesia saja yang dipaksa mengikuti kemauan IMF. World Bank dengan dukungan IMF, ADB, WHO, ILO, dukungan perusahaan finansial dan asuransi besar (termasuk beberapa perusahaan multinasional) sebenarnya sudah melakukannya di Amerika Latin sejak tahun 80-an lalu.

Sebuah penelitian yang dimuat di International Journal of  Health Services, Volume 31 tahun 2001 dengan judul “Health and Social Security Reforms in Latin America: The Convergence of  The World Health Organization, The World Bank, and Transnational Corporation“ menyimpulkan bahwa yang diuntungkan dengan meliberalisasi Jaminan Sosial di beberapa negara Amerika Latin adalah perusahaan multinasional dan perusahaan lokal. Bukan rakyat di beberapa negara Amerika Latin.

 “…Aetna, CIGNA, AIG, and Citibank (Citicorp) controlled large sectors of health care and pension funds in several countries by the end of the last decade,” seperti tertulis dalam penelitian tersebut.

Yang menarik lagi, kalau membaca tulisan Sue L.T. McGregor, ekonom dari Mount Saint Vincent University, Halifax, Nova Scotia, Canada. Studi dan kajian Sue adalah home economics dan consumer studies. Pada 2001 lalu, dia menulis di International Journal of Consumer Studies sebuah artikel dengan judul “Neoliberalism and Health Care”.

Dia memberi beberapa catatan logis mengapa jaminan sosial termasuk jaminan kesehatan perlu diliberalisasi. Memang, dalam catatan yang ada, beberapa negara liberal seperti Prancis atau Inggris memiliki sistem jaminan kesehatan yang bagus. Namun, ketika liberalisme diterapkan di negara-negara berkembang atau miskin justru tingkat kegagalannya-nya besar.

Dengan melihat contoh Kuba atau Venezuela, tanpa liberalisasipun mereka punya sistem jaminan kesehatan yang cukup bagus juga. Tak kalah dengan negara-negara di Eropa. Hipotesa Sue, individualisme sebagai  pondasi dan akar kebijakan neoliberalisme akan gagal jika dipaksakan ke negara-negara yang masih mementingkan sistem kekerabatan (gotong royong di Indonesia.red) dalam budaya kesehariannya.

Kartu Sakti
Dalam konteks seperti itu harusnya kita meletakkan isu di sekitar Kartu Sakti.

Presiden Jokowi meluncurkan tiga kartu sakti yakni Kartu Indonesia Sehat (KIS), Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) di Kantor Pos Jakarta Pusat pada 3 November lalu.

Sekadar informasi, Kartu Sakti itu itu adalah bagian dari program Government to Person (G2P) yakni bantuan langsung untuk keluarga kurang mampu. Mirip sebenarnya dengan Program Keluarga Harapan (PKH) dan Bantuan Langsung Sementara Masyarakat atau BLSM yang penyalurannya secara tunai dilakukan lewat Kantor Pos. Namun bedanya, Kartu Sakti Jokowi ini penyalurannya lewat Layanan Keuangan Digital melalui kartu digital yang bisa diuangkan melalui ATM,kartu elektronik atau di Kantor Pos. Jadi tidak tunai.

Menurut Menteri Khofifah, program itu itu akan ditujukan buat 1,289 juta rakyat miskin secara bertahap. Total anggarannya diperkirakan mencapai Rp 6,44 triliun yang diambil dari anggaran Bantuan Sosial Kementerian Sosial.

Disamping itu, pemerintah juga mengalokasikan sebagian dana dari pengurangan subsidi bahan bakar minyak (BBM) buat kartu Sakti ini. Menurut catatan katadata.com, sekitar 50 persen lebih atau sekitar Rp26 triliun alokasi itu untuk KIS dan KKS; sekitar 38 persen untuk pembiayaan infrastruktur  dan sisanya untuk pertanian.

Pada hari yang sama setelah peluncuran program Kartu Sakti, Jokowi menandatangani Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 7 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Program Simpanan Keluarga Sejahtera, Program Indonesia Pintar, dan Program Indonesia Sehat untuk Membangun Keluarga Produktif. Dia meminta seluruh Menteri, Menko, Gubernur sampai Bupati berkordinasi agar program ini terselenggara dengan baik.

Ini jurus sakti Jokowi agar program Kartu Sakti ini bisa dimplementasikan dengan cepat meski harus diakui masih banyak kendala ketika diimplementasikan. Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Puan Maharani mengakui bahwa dalam implementasinya, program KIS ternyata hampir sama dengan BPJS. Perlu waktu dan proses agar pada suatu titik tertentu, semua kartu bisa harus diintegrasikan jadi satu kartu saja. Satu kartu Jaminan Sosial. “Kita perlu masa transisi untuk merubah menjadi satu kartu yang terintegrasi,” katanya beberapa saat lalu.

Yang cukup kritis terhadap program Kartu Sakti ini adalah Ketua Ombudsman, Danang Girindra Widodo. Menurut Danang, potensi kejadian maladministratif masih sangat terjadi jika dipaksakan.

Danang memiliki data, bahwa sekitar 60 pemerintah daerah di Indonesia memiliki program yang sama atau mirip dengan program Kartu Sakti Jokowi. Jika Jokowi tetap menggunakan jurus saktinya untuk memaksakan program ini maka akan terjadi over budget.

Data yang dimiliki Ombudsman rata-rata pemda mengeluarkan budget sekitar Rp70 miliar sampai Rp 80 miliar setahun untuk program mirip kartu Jokowi itu. “Negara juga menerbitkan hal yang sama. Ini menjadi redundant yang tidak boleh diteruskan. Harus segera dihentikan mumpung belum sampai APBN 2015,” kata Danang seperti yang dituturkan ke Kompas.

Pro kontra Kartu Sakti terus melebar. Jurus sakti Jokowi kali ini harus dihadapkan pada implementasi mulai dari soal data, proses bisnis sampai overlapping kebijakan antara pusat dan daerah.

Namun, esensi masalah Kartu Sakti dan kebijakan liberalisasi kebijakan social security tidak pernah tersentuh atau disentuh oleh publik. Prof James Petras, Guru Besar Departemen Sosiologi di Binghamton University, New York pada Desember 2012 lalu pernah menulis bahwa kebijakan social security di AS adalah “The Great Social Security Robbery”.

Prof Petras melihat publik di AS yang berharap banyak pada kebijakan social security di AS ternyata tidak tahu bahwa mereka justru menjadi sapi perah negara dan kapitalisme. “For decades only a small fraction of Social Security contributions are used to pay recipients, the bulk is transferred into the general treasury to pay for current expenditures – mostly hundreds of billions of dollars in war spending, payments on bonds and T-notes; subsidies to agro-business, bailouts to Wall Street speculative investment banks and other elite economic interests,” katanya.

Ya, memang esensi dari meliberalkan kebijakan social security seperti report yang dikeluarkan PBB adalah melakukan proses underwriting rakyat miskin. “Underwrite the poor like we underwrote the banks,” begitu proposal PBB ketika meminta agar dibentuk sebuah badan baru yang bernama “Global Fund for Social Protection”. Lebih ditel, coba baca Briefing Notes yang dikeluarkan PBB 07 Oktober 2012 yang berjudul “Underwriting the Poor A Global Fund for Social Protection”.

Memang semangat Presiden Jokowi dan negara untuk menyejahterakan rakyat harus didukung terus. Apalagi ketika menyentuh hal paling vital yakni pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan sosial orang miskin.

Namun, politisi, intelektual, cendekiawan dan publik juga harus terus mengingatkan bahwa meliberalkan kebijakan social security itu tidak selamanya menguntungkan rakyat. Karena tidak semua keuntungan dari proses bisnis Kartu Sakti itu sepenuhnya atau 100 persen dikembalikan lagu buat rakyat. Dan negara juga tidak pernah menjamin bahwa keuntungan dari liberalisasi social security seluruhnya akan disalurkan buat rakyat.

Ini seharusnya yang menjadi titik tolak untuk mengawasi dari waktu ke waktu apakah jurus sakti Jokowi buat Kartu Saktinya benar-benar bermanfaat besar buat rakyat.

Perlu kontrol kuat agar Kartu Sakti ini bisa menunjukkan kesaktiannya…

Artikel ini ditulis oleh: