Jakarta, Aktual.com – Sebulan pasca PT Pertamina dipimpin pelaksana tugas, kementerian BUMN tak kunjung juga menujuk Dirut Definitif. Padahal, Pertamina banyak memiliki pekerjaan rumah, mulai dari penugasan BBM satu harga, peningkatan cadangan minyak dan gas, kelangkaan elpiji melon, penyedian kembali premium di 1.950 SPBU, serta pengelolaan 8 blok migas terminasi.

“Entah berapa lama lagi situasi ketidak pastian terus menyelimutinya internal Pertamina. Sampai saat ini tidak ada yang tahu kecuali Menteri BUMN, Presiden dan elite elite partai berkuasa,” ujar Direktur Eksekutif CERI Yusri Usman dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Minggu (20/5).

Setelah hampir tiga tahun dibatasi, lanjutnya, penugasan penyedian premium di 1.950 SPBU Jawa dan Bali secara tidak langsung meningkatkan kuota premium menjadi lima juta kilo liter menjadi total 12,5 juta KL Premium. Solusi cerdas produk Pertalite Ron 90, meningkatkan keuntungan Pertamina di saat NOC (National Oil Company) seluruh dunia melakukan PHK besar besaran.

“Namun di sisi lain, ketika harga minyak melambung tinggi, Pemerintah tetap tidak akan menyesuaikan harga keekonomian Premium dan Solar sampai dengan tahun 2019. Pertimbangan dampak negatif secara ekonomi dan politik amat berisiko bagi elektabilitas Jokowi yang akan bertarung kembali di tahun 2019. Sehingga harga BBM penugasan harus terpaksa diingkari, termasuk penyesuaian harga BBM umum (Pertalite, Pertamax 92, Pertadex dan Pertamax Turbo 98),” jelasnya.

Melihat kinerja keuangan 2015 dan 2016, Pertamina menyumbang deviden sebesar Rp12,1 triliun, namun pada tahun ini hanya bisa menyumbangkan deviden hanya sebesar Rp8,57 triliun akibat tergerus labanya sekitar Rp24 triliun, tentu penyebabnya karena harga Premium Ron 88 dan Solar tidak boleh dinaikan sebagai bentuk penugasan BBM di seluruh Indonesia. Adapun penurunan laba terjadi karena harga minyak dunia dipatok sekitar USD 60 perbarel dan kurs rupiah sekitar Rp13.600.

“Namun harga minyak dunia yang terus merangkak naik menembus USD70 per barelnya dan nilai tukar rupiah menembus Rp14.100 diprediksi akan berdampak pada arus kas Pertamina. Perusahaan berpotensi akan terus berdarah darah sejak bulan april 2018,” jelasnya.

Padahal asumsi harga minyak dalam APBN 2018 masih dipatok dengan harga USD48 perbarel dengan nilai tukar Rp13.400 serta lifing minyak 800.000 BOPD. Faktanya saat ini nilai tersebut jauh meleset dari asumsi APBN, sehingga muncul wacana subsidi solar dinaikan menjadi Rp1.500 perliternya.

“Usulan itu tentu untuk menghidari Pertamina kolaps,” jelasnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Eka